Kidung senja dibalik awan menuntun tapak kecil berlenggak lenggok hingga surya terbenam kita masih ditepi laut itu. Menunggu warna keemasaannya tenggelam pelan-pelan hingga mengernyap ke tubuh-tubuh kita yang kesepian.
“Aku suka ketika terbenam dan muncul perlahan-lahan bagai peri yang berpendar-pendar dengan terang yang tak terlalu menyilaukan. Tapi aku lebih suka lagi ketika bidadari mengisi jari-jariku menyaksikan bersama ketika keemasannya memancarkan sudut-sudut hati dilorong kesepian”. Itu ucapmu dulu, Ketika langkahmu masih terpaku ditanah merah.
Ketika hasratmu tak sebesar nyalimu sekarang. Menghabiskan waktu hanya untuk bergeming dan duduk berleha beralas tanah mendengar derai ombak bergulung-gulung. Kita banyak berceloteh dan berkoar tentang cinta, tentang impian dan tentang sebuah ikrar dibalik teduhnya pohon kelapa. Berlari menyusulku dan bersiap-siap mengambil sendayang tua terkulai ditanah sebagai alas dudukku. Lantas tersenyum murah entah untuk membuat ku bersemu merah atau basa basi seorang kance saja.
Tepi laut itu menjadi sejarah bagian hidup kita. Berlari sepanjang riak air hingga kita pulang bersama, kebakaran jenggot orang tua kita meletup-letup. Aku tak perlu hirau ataupun cemas dan takut selama kita bersama, aku bagai lawang baja yang menahan hempas dalam benteng kita. Masih ingat seruput buah kelapa bersamamu yang kau juluk-juluk sekuat tenaga karena siang itu dahagaku agak kekeringan. Mataku mulai mencuatkan isyarat. Tangkup hati yang tertambat dipulau kecil yang tepencil. Ku harap, kaulah yang akan menuai padi hatiku melawan arus untuk tiba dipulau kecil itu.
Pagi itu, aku tak dapati kau memanggil- manggil namaku seperti sudah-sudah. Mengetuk pintu jendela dan mengajakku menonton kilau emasnya muncul secara pelan-pelan. Langkah kaki kecil ku terlambat melihat kilau emasnya. Aku pun tak dapati dirimu di riaknya air pantai. Bagai raib dari hingar bingar kehidupan, Kau tak kudapati dimana-mana. Kali ini, kau mengkhianatiku lagi. Dari sekian waktu, kau selalu sekonyong-konyong lenyap dan muncul tiba-tiba. Muncul bersama riaknya air dan tersenyum tanpa dosa. “Aku kembali”. Begitulah ucapmu setiap kali kau kembali. Ternyata, impian dan cita-citamu lebih menarik hatimu daripada menghabiskan waktu bersama di pantai ini. Lagi-lagi, hanya secarik kertas yang kau selipkan dijendela kamarku.
“Rasanya tawaran pak de menjadi mekanik bengkel di tempat kerjanya telah menarik hatiku. Langkahku mulai berhias impi. Bertandang dikota besar Jakarta sejak dulu yang kuinginkan. Kau harus merajut juga mimpimu sekarang. Kita kan habiskan waktu bersama berkeluh kesah tentang pengalaman kita”. Semburat sendu terpatri dari wajahku yang mulai makin menua .
Umurku yang tak disangka telah menginjak kepala dua. Mungkin benar, tak selamanya aku akan selalu menghabiskan waktu di tepi pantai ini. Warna emasnya tak lagi bisa kubayangkan. Aku lupa bagaimana cara dia tenggelam atapun muncul. Hanya gemericik riak yang selalu mengagetkan ku di peraduan. Memantau pantai dengan pandangan jauh. Sudut relungku yang sembilu membuatku terkungkung didalam kamar berukuran 4x5 meter. Skeptis dan gelisah mulai menghantuiku. Lagi-lagi, aku dicerca dengan secarik kertas. Belum lagi amarah orang tuaku yang telah dibuat malu atas penolakkanku untuk dipinang anak teman bapakku.
Untuk kesekian kalinya, aku tertipu oleh wajah manismu. “Aku suka ketika terbenam dan muncul perlahan-lahan bagai peri yang berpendar-bendar dengan terang yang tak menyilaukan. Tapi aku lebih suka lagi ketika bidadari mengisi jari-jariku menyaksikan bersama ketika keemasannya memancarkan sudut-sudut hati dilorong kesepian”. Lagi-lagi ucapmu terngiang ditelingaku bahkan wajahmu secara detail masih sangat pekat dalam disket otakku. Kau mengaduk hatiku tapi tak sempat terkoar. Seharusnya dari dulu ku sumpal mulutmu dengan ucapanku. Jika reaksimu hanya biasa saja mungkin aku takkan mengelak dari pinangan tersebut. Aku telah dibuat kacau olehmu.
Ku pandangi kertas tebal itu, perlahan kubuka dengan jemari yang bergetar. Namamu terpampang jelas disana dengan menggunakan bin dari ayahmu. Aku menggeleng-gelengkan kepala. Tenyata aku tak lebih dari sekedar teman biasa. Mulutku peluh ketika tanggal acaranya dua minggu lagi. Ku lihat bapakmu mulai sibuk mempersiapkan acara besar untukmu. Kau kembali tapi tidak membuatku menyunggingkan senyum. Aku benar benar tertipu wajah manismu. Serasa guntur merobek kulitku ketika sekonyong-konyong bapakmu menyerahkan undangan untukku.
“kawan kecilmu sudah dapat, kini kapan giliranmu?”. Aku tersenyum dan bingung apa yang diucapkannya. Lagi-lagi, kata-katamu bergelantung dalam benakku. Mataku menerawang dalam rebahan peraduanku.
“Aku suka ketika terbenam dan muncul perlahan-lahan bagai peri yang berpendar-pendar dengan terang yang tak menyilaukan. Tapi aku lebih suka lagi ketika bidadari mengisi jari-jariku menyaksikan bersama ketika keemasannya memancarkan sudut-sudut hati dilorong kesepian”. Kau terlalu lembut kepadaku bahkan kotoran-kotoran sampah kau larikan untukku ketika telanjang kaki berpijak dipantai. Lantas untuk apa semua itu. Aku tersudut ketika makian bapakku membandingkanku kepadamu. “Sudah ku bilang untuk apa menunggu-nunggu. Kini malah kau yang ditinggalkan sahabatmu itu”. Aku benar-benar terkungkung dikamar 4x5 m ini. Tak kukira wajah manis mu melemparkan aku kedalam curamnya lembah. Deburan ombak membangunkan ku dari peraduan.
Pelarian ku menyusuri beberapa buah rumah menuju pantai. Suara gemuruhnya tak lepas dari pendengaranku. Mereka berceloteh, beriak-riak memanggil namaku. Seakan-akan ingin menyampaikan pesan tersirat untukku. Keemasannya hampir saja terlewat ketika perlahan-perlahan tenggelam menuju kantuknya. Wajahnya tak asing bagiku bahkan tak pernah terhapus dari disket otakku. Kutatap dia yang muncul dari riaknya air. Suatu senja dipantai itu, lagi-lagi kutemukan senyum manisnya yang lama menghilang. Kebiasaan yang tak berbeda seperti dulu. Menyiapkan sendayang tua yang terkulai ditanah untuk alas dudukku.
“Bagaimana apakah kau senang mendengarnya. Temanmu Pramono bin Teguh Sanjoyo akan bersanding dengan Mutia binti Sudiro Dahlan. Akan kuperkenalkan dia kelak kepadamu”. Dia tersenyum manis. “Aku senang mendengarnya”. Lagi-lagi aku berbohong. Meski keadaan tersayatpun tak bisa aku lontarkan secara gamblang bagaimana perasaanku. Rasa yang selalu terpendam didalam palung hati.
“Aku hanya bisa mencintainya dalam hati tanpa pernah merengkuh”. Begitulah yang tertulis dalam “monumen cinta” di desa karang rejo yang mengabadikan kisah cintaku hingga tersohor disegala penjuru. Ketika tangis deru dan burung-burung kecil mengantarkan kepergianku. Di suatu senja itu aku terjegal tak bernyawa ketika sang keemasaan mulai tenggelam diriaknya pantai. ......
0 komentar:
Posting Komentar