Rabu, 22 Agustus 2012

Namaku Vie 4




Tapi aku tidak perlu merasa heran atas sikapnya yang tak mau diatur, terutama bila mempertimbangkan kenyataannya bahwa ada yang melatarbelakangi sikapnya─kedua orangtuanya sudah sama-sama tidak bisa bersama. Dari pertimbangan itu, aku tahu berada di posisi Radit akan menyulitkannya untuk bersikap baik.

          Aku tidak memiliki alasan cukup jelas mengapa aku sangat menyukai anak-anak. Bahkan aku sempat berpikir, kadangkala aku ingin kembali menjadi anak-anak karena ingin merasakan dunia bermain yang telah dirampas oleh “kedewasaan.” Mungkin ada hubungannya dengan masa depan, mungkin sejauh ini aku memandang dengan kacamata kemungkinan terburuk di dunia ini. Hingga aku kesulitan menghentikan hal-hal yang berseliwer di dalam otakku. Di dalam duniaku, dunia tak sebaik yang terkira, ternyata ia mengajarkan bertubi-tubi rasa sakit dan menularkan rasa kekecewaan.
            Bukan berarti pula bahwa aku tidak pernah bermimpi untuk masa depan, namun setiap kali bermimpi aku menyadari bahwa keragu-raguan yang lebih dominan membelengguku. Entahlah kau bisa menyebut apa saja semacam itu─pesimis, penakut atau paranoid, yang menurutmu sesuai dengan padanan katanya.
            Bahkan aku lebih bisa memikirkan kemungkinan terburuk dari saksi mata yang pernah kulihat, aku pernah membayangkan betapa menakutkan bila aku menemukan seorang pria yang salah setelah melihat tayangan televisi yang menayangkan  percekcokan disebabkan keuangan rumah tangga yang berakhir dengan tikaman suami. Yang jelas-jelas menjadi persoalanku hingga aku kesulitan mempercayai siapa pun sampai aku merasa ia benar-benar pantas dipercaya.
            Kata ayahku, aku manusia normal sejak pertama kali aku dilahirkan ke Bumi. Aku juga persis seperti bayi-bayi mana pun yang menangis setelah keluar dari lubang gelap itu. Sewaktu sekolah dasar, aku memiliki banyak teman dan bermain riang seperti selayaknya bocah-bocah lainnya. Omong-omong, aku juga memiliki permainan favorit─memasukkan gundu ke dalam lubang.
            Sampai aku tidak menyadari perlahan-lahan perubahan itu terjadi padaku, kira-kira ketika aku menginjak di tahun pertama di sekolah menengah pertama, yang menjadikanku tidak bicara selugas dulu dan berhenti total setiap minggu tiba untuk sekedar nongkrong dengan teman tetanggaku. Aku kira itu hanya fase yang kusebut kedewasaan dan akhirnya aku melewatinya dengan baik, namun kenyatannya tidak begitu─aku menjadi pendiam.
            Yang bisa kukatakan dengan pasti adalah aku memiliki dua sahabat yang melekat di dalam hati, mereka yang tahu persis bagaimana dengan kepribadianku dan menerimaku secara terbuka, setidaknya itu menurutku. Ratna dan Rafit, yang menjadikan kami perpaduan dua wanita dan satu pria. Namun, aku lebih lama berteman dengan Ratna sejak di bangku sekolah dasar sebelum bertemu dengan Rafit di bangku sekolah menengah pertama. Aku kira kami tidak akan melupakan foto lengkap kami bertiga yang dibuat satu-satunya saat berada di beranda Ratna, kala itu kami sedang menyelesaikan tugas kelompok membuat peta Indonesia.
            Namun rupanya, tingkat kenyamananku bersama mereka membuat Tuhan memiliki rencana lain. Rafit seorang nomaden (dulunya, sebelum ke kota ini, ia berada di Sulawesi). Pekerjaan ayahnya yang mengharuskan mereka tidak bisa selalu menetap di tempat yang sama. Persis seperti apakah pekerjaan itu aku tidak pernah tahu. Kami hanya berteman selama dua tahun masa sekolah, dengan segudang kenangan itu ia sampai hati meninggalkan kami ke kota lain. Yang lebih menyedihkan lagi bahwa selain berpisah karena berbeda kota, kami juga kelak akan dipisahkan oleh pulau─Rafit menunjukkan tempat itu di peta yang berdekatan dengan negara tetangga. Ia menuju Kalimantan.
            Dan di hari terakhirku bersamanya tidak kumanfaatkan dengan baik, aku tidak menyisakan waktu bersamanya selain mengunci diri di kamarku, satu-satunya alasan aku melakukan itu karena sewaktu itu kupikir diriku bisa mengurungkan keputusannya. Namun pada akhirnya, bentuk protesku itu membuatku menyesal seumur hidup, sebab aku tidak menyimpan apa pun untuk mengenangnya. Dan aku telah berjanji akan mengenangnya dengan caraku sendiri. Aku menyadari bahwa untuk membuatnya tetap berada di hatiku satu-satunya alasan yang dapat kupertimbangkan adalah dengan cara membencinya. Membencinya seumur hidupku!


bersambung....





0 komentar:

Posting Komentar

temukan peluang emas