Rabu, 22 Agustus 2012

Namaku Vie 3


sebelumnya


Ibu seorang makmum sejati. Dalam pergaulan sosial, ia termasuk follower fanatik terhadap ayahku. Dan bisa dipastikan, ibu akan menjadi pendukung pertama atas keputusan apa pun yang diambil oleh ayahku. Menurutku ibu bukan orang jahat, terutama mempertimbangkan kebenaran bahwa ibu tidak sekalipun membicarakan orang lain. Tapi di rumah, ibu selalu mempersulit masalah yang ada. Yang sebenarnya adalah, alih-alih memperkecil masalah tapi ibu malah memperuncing masalah berlipat-lipat.    
        Kau harus tahu, aku berwatak keras terlihat pada tonjolan jidatku yang tajam. Tapi di sisi lain, aku bisa sangat lembut lebih dari yang kaubayangkan. Aku tidak menyalahkanmu bila kau bingung dengan kepribadianku karena aku pun begitu. Banyak hal di sisi lain pada satu jalur tidak berdampingan. Namun aku tidak berpikir kau akan mengatakan lebih jauh, misalkan aku memiliki kepribadian ganda.  Kurasa aku masih dalam batas wajar, kemungkinan banyak orang memiliki masalah yang sama terhadap diri sendiri. Aku cukup menyebutnya “terperangkap”─ya, aku sedang terperangkap.
            Ibu dan ayah secara tidak langsung menjadikan aku sama seperti mereka. Aku berani mengambil resiko apa pun bila kau tidak mendengar setiap harinya teriakan atau semacamnya di dalam rumahku. Kadang-kadang masalah sepele saja bila dibawa ke rumahku semua akan bergulir menjadi masalah besar. Seperti gulungan bola salju, tepatnya. Bahkan sebenarnya hal sepele itu terlampaui sering. Aku tidak dapat menghitung sudah kesekian kalinya sebuah remote control televisi menjadi topik perdebatan yang panjang di rumahku. Dan tidak terlalu mengherankan, ketika Sinta─kakakku satu-satunya, bergumul dengan percakapan keras bersama ayahku cuma gara-gara tayangan gosip artis yang menikah dengan janda kaya raya. Dan masalah utamanya adalah berapa anak janda kaya raya itu. Dengan artian, mereka bertengkar gara-gara perselisihan jumlah. Bisa kau bayangkan itu?
            Aku tahu, kau akan menganggap hal yang terjadi merupakan hal yang lumrah terjadi dalam satu keluarga. Kau juga akan mengatakan bahwa hal kecil memang selalu menyulut emosi. Aku bisa menjamin aku hidup di lingkungan yang berbeda, terutama alasannya adalah waktu. Aku berani bertaruh, kau tidak akan menemukan di rumah mana pun cuma gara-gara hal yang sepele melewatkan waktu sepanjang hari dalam satu harimu berdebat untuk itu. Bisa kau bayangkan betapa lelahnya mulutmu bergerak. Dan kurasa kau sekarang mulai terpingkal atas kebodohan itu. Banyak hal sepele yang menjadi topik besar di rumahku dan itu sangat sulit aku jabarkan satu-satu. Secara singkat, kata yang mewakili keluargaku adalah super ribet.
            Salah satu hal positif yang kudapatkan dari ibu mengenai memasak. Ibu punya resep masakan yang bisa kuunduh setiap saat. Bahkan aku tidak terlalu berlebihan bila mengatakan ibu adalah juru masak terbaik yang pernah ada. Ibu bukan tipikal wanita yang menjerat pria dengan kecantikan dari luar. Ia lebih mempertimbangkan yang berada di dalam dirinya. Dan salah satu yang beruntung dan terpikat adalah ayahku. Suatu ketika, ibu mengatakan padaku bahwa ayahku tidak pandai memilih wanita berkuku lentik, ia cuma tergila-gila pada masakan. Tanpa perlu kutanyakan, aku tahu ayah jatuh cinta pertama kali pada masakan ibu, bukan ibu.  
            Karena hal itu, ibu selalu bersikeras agar aku bisa sepandai atau lebih pandai darinya untuk urusan perut. “Kelak kau akan tahu, apa yang membuat pria betah di rumah selain cita rasa, masakan pun punya seni”─ibu mengatakan tidak persis begitu, tapi intinya seperti itu. Namun sayangnya, aku tidak menurunkan sama sekali bakat dari ibuku.
            Memang tak selamanya urusan perut menjadi prioritas. Sesekali, ayah mengeluhkan perihal lain dari ibu. Urusan perut selalu membuat lupa segalanya, terutama perawatan tubuh. Ibu sama sekali jauh untuk dikatakan memiliki tubuh ideal dan bisa dikatakan ia terlampau berat. Meski tak menjadi masalah yang berarti. Namun faktanya, jika bukan kelelahan berjalan atau nafas tersengal, tentu keluhannya adalah penyakit. Ibu memiliki kolesterol tinggi dan asam urat akut di kaki. Mungkin aku cenderung gegabah menjadikan berat badan sebagai penyebabnya. Tapi kemungkinan berat badan bisa menjadi salah satunya.
            Entah dengan alasan apa, aku merasa bersyukur di lahirkan di kota ini dan dari keluarga ini, meski aku menjadi orang aneh sekalipun. Namun aku lebih bersyukur lagi karena setelah melewati usiaku dua puluh tiga tahun ini, aku masih merasakan hal yang sama terhadap segalanya.
            Palembang. Kota yang terletak di sebelah barat Indonesia ini merupakan cirri khas kota pempek─penganan khas yang terkenal itu. Seharusnya aku tak perlu memperkenalkan ini kepadamu, aku yakin kau mengenal kotaku dengan sangat baik bahkan di luar perkiraanku. Aku juga tak perlu mengingatkan, kalau Ampera dan Sungai Musi menjadi dua ikon yang tak bisa terpisahkan dan terlupakan dari bagian kota ini. Namun aku tidak akan membandingkan Ampera dengan Golden Gate San Fransisco, yang tentu kedua-duanya memiliki keindahan dan kelebihan masing-masing. Ampera sangat berperan penting dalam menghubungkan daerah seberang ulu dan ilir yang dipisahkan oleh Sungai Musi.
            Kupastikan kau akan merasa canggung luar biasa menikmati Sungai Musi di bawahnya tanpa memandang Ampera di atasnya, karena di malam hari lampu-lampu warna-warni menghias di setiap sudut-sudutnya, yang seakan-akan dibuat menyerupai kunang-kunang raksasa yang bekedap-kedip. Kuberitahu, sedikitnya sekali dalam sebulan kau harus menyempatkan berada di malam hari menjadi salah satu saksi di antara keramaian orang yang menikmati pemandangan ini. Meski kita tahu, sungai di mana pun berada tidak terlalu jernih untuk menembus batu-batu juga pasir di dalamnya.
            Di sisi lain, kau akan menemukan pasar 16 ilir─pusat grosir terbesar di kota ini. Dan tak jauh dari tepi sungai berdiri benteng yang merupakan bangunan kraton pada abad tujuh belas yang menjadi pusat kesultanan Palembang. Selain menyedot wisatawan, bangunan ini dimanfaatkan sebagai markas Kodim Sriwijaya. Setelah kau berada di sini, kau bisa mengajak siapa pun untuk melewatkan makan malam di River Side─sebuah resto yang berlatar pemandangan langit dan keindahan sungai. Aku berani menjamin kau akan mendengarkan riak air setiap kali kau menyumpal mulutmu dengan sendok. Namun sampai detik ini, aku tidak pernah berani membayangkan keromantisan itu bersama dengan seorang pria bahkan mempertimbakannya sekalipun, selain keluargaku sendiri. Tentu saja kami pernah ke sana apalagi pada awal-awal bulan saat kau tidak perlu cemas atas tagihan kredit karena kocek terisi kembali.
            Sedangkan rumahku sama sekali jauh dari tempat itu. Aku berada di pinggir kota yang bila kau menaiki angkot atau bus kota harus menaruh perhatian lebih pada jurusan Perumnas. Tepatnya, di jalan asahan raya aku menetap. Pada masa pemerintahan Gubernur saat ini yang telah berlangsung tiga tahun masa jabatan. Sebuah partai besar menggadangnya menjadi calon kandidat Gubernur kota lain yang lebih besar. Dan aku tahu, lewat televisi rumahku satu-satunya, semua yang mendukung harus segera mengatasi kekecewaan ketika gagal telak mendapatkan simpati. Belum lagi masalah kontra yang ditinggalkan. Aku tidak menyalahkan harapan Gubernur dan aku juga tidak membenarkan tindakan yang jauh di luar kendali itu. Sebagai perwakilan masyarakat, kurasa mereka meminta padanya untuk lebih berhati-hati.
            Kadang-kadang topik permbicaraan kami berloncatan dari satu topik ke topik lain; mulai dari politik sampai hal yang tidak habis pikir, misalkan mempertanyakan benda mungil apa yang menempel pada baju Perwira atau mempermasalahkan ketebalan bedak artis yang tak rata.
            Ngomong-ngomong tentang topik, namun hal itu bukan berarti ada hubungannya dengan pekerjaanku. Kuakui aku memang lebih antusias dengan saluran acara yang menyiarkan berita anak-anak yang sangat berkaitan erat dengan pekerjaanku saat ini. Setiap pagi kau akan melihat aku mengatur barisan atau memimpin doa ketika jam waktunya anak-anak makan. Tapi ini tidak terlihat merepotkan seperti yang kau bayangkan, mengingat alasannya aku pecinta anak-anak dan ini tampak menyenangkan bagiku.
            Buatku definisi repot ketika kau harus menjabarkan uraian trigonometri atau menghitung jutaan uang dan mengemasnya dalam satu tabel debet dan kredit, bahkan aku tidak membayangkan bila aku berada di posisi mengerikan itu. Tak ada kemungkinannya bila kepastiannya adalah aku tampak begitu payah. Bahkan aku tidak perlu menutup-nutupi bagian otak mana dalam diriku yang berkembang lebih baik. Hingga aku lebih mudah menjelaskan pada setiap orang yang mempertanyakan kredibilitasku dan mengatakan kepada mereka, “Aku tidak bodoh hanya saja aku memiliki kepintaran di bidang yang berbeda.” Dengan wajah yang berapi-api aku akan menjabarkan keahlianku dalam bidang seni, terutama dalam dunia kepenulisan, kurasa aku juga perlu menceritakan media-media mana saja yang telah memuat cerpenku dan aku memiliki daya ingat yang cukup kuat tapi tidak pada penangkapanku. “Sebentar lagi aku akan meluncurkan novel perdanaku,” sesekali aku memang perlu sedikit angkuh meski kenyataannya tidak semudah demikian.
            Dan aku tidak perlu mencemaskan kalau pada akhirnya mereka tetap mencibirku, karena aku telah mempersiapkan amunisi terakhir yang akan membuat mulut mereka ternganga, sekiranya aku akan berkata, “Sayang sekali otak kananku lebih berkembang dengan baik daripada yang kau punya.” Setelahnya aku akan merasa lebih lega dari sebelumnya dan lebih mantap melangkah meninggalkan mereka.
            Meskipun begitu, pada faktanya aku bukan orang setega itu. Bahkan aku tak berani bicara bila tak ada yang memulai apalagi dengan keangkuhan yang luar biasa seperti itu. Aku hanya akan mengambil tindakan saat aku merasa alat pendengaranku mulai tak nyaman dengan situasinya. Secara sadar, aku adalah orang yang minim percaya diri.
            Memang menjadi guru honor di taman kanak-kanak bukanlah profesi yang menghasilkan banyak uang, tapi mencari uang tentu saja bukanlah satu-satunya tujuanku. Alasanku adalah bekerja dengan cara menyenangkan. Aku menikmati dengan caraku sendiri. Hanya sedikit sekali orang yang memahami dan merasakan kegembiraanku, setidaknya aku melakukan itu tanpa dasar paksaan. Karena pada hari ini, sesuatu paksaan menjadi sebuah tuntutan yang harus dilaksanakan meski mengubah diri sendiri sekalipun. Dan kemungkinannya, tak ada yang mau mengambil keputusan seperti aku.
            Dan aku menaruh perhatian lebih pada gadis kecil berkulit putih itu. Aku menyukai Jani sejak pertama ia masuk di kelas ini. Tak ada yang perlu membuatku tak menyukainya apalagi bola matanya yang bening membuatku terkesan sejak pertama kali ia menatapku. Aku bisa merasakan kedalaman dan kehangatan yang tak terkira.
            Aku hapal betul setiap berselang dua hari, Jani akan mengganti mode rambutnya, yang justru malah tampak seperti media obsesi orangtuanya bukan dasar kemauannya. Meski begitu, kuakui ia mengubahnya menjadi lebih tampak cantik. Pada hari pertama, aku akan melihat dua kepang berada di kanan-kiri kepalanya, berselang dua hari selanjutnya ia tampak begitu manis dengan poni dan kuncit kuda di belakangnya dan berikut hari selanjutnya ia tampil sederhana dengan jepit-jepit yang menghias belahan kanan-kiri rambutnya. Dan semua perhatianku tidak cuma tertuju pada perawakannya saja, ia juga memiliki nilai akademik yang baik. Aku tidak terlalu berlebih menjadikan Jani sebagai murid yang paling pintar di kelasku.
            Suatu ketika, aku bertanya pada Jani, apa yang sebenarnya yang ia buat?  (saat itu berlangsung pelajaran menyusun balok-balok). Ia menatapku dan aku bisa melihat bibir kecilnya bergerak dengan sangat manis, “Aku sedang membangun masjid di dekat rumahku, Bu, tempat itu tidak cukup menampung banyak orang saat beribadah.” Betapa aku terkejut mendengarnya tapi aku tidak memperlihatkannya. Saat di usianya aku masih tidak mengerti tentang segalanya. Aku tak habis pikir bagaimana Jani bisa memliki pemikiran luar biasa hebat seperti itu.
            Selain Jani, aku juga memperhatikan Radit, bocah yang menarik perhatianku bukan lantaran ia sama manisnya dengan Jani. Radit sama sekali tidak memiliki bakat untuk itu. Bila kau ingin dikenang oleh gurumu sepanjang masa, maka yang perlu kau lakukan adalah kau harus menonjol di antara mereka dengan menyematkan awalan”ter-“ pada predikat yang kau sandang. Tentu saja kalau tidak terpintar, kau adalah ternakal di kelasmu. Dan kenyataannya Radit sepeti itu.


0 komentar:

Posting Komentar

temukan peluang emas