sebelumnya
Ibu seorang makmum sejati.
Dalam pergaulan sosial, ia termasuk follower
fanatik terhadap ayahku. Dan bisa dipastikan, ibu akan menjadi pendukung
pertama atas keputusan apa pun yang diambil oleh ayahku. Menurutku ibu bukan
orang jahat, terutama mempertimbangkan kebenaran bahwa ibu tidak sekalipun
membicarakan orang lain. Tapi di rumah, ibu selalu mempersulit masalah yang
ada. Yang sebenarnya adalah, alih-alih memperkecil masalah tapi ibu malah
memperuncing masalah berlipat-lipat.
Ibu dan ayah secara tidak langsung menjadikan aku sama
seperti mereka. Aku berani mengambil resiko apa pun bila kau tidak mendengar
setiap harinya teriakan atau semacamnya di dalam rumahku. Kadang-kadang masalah
sepele saja bila dibawa ke rumahku semua akan bergulir menjadi masalah besar.
Seperti gulungan bola salju, tepatnya. Bahkan sebenarnya hal sepele itu
terlampaui sering. Aku tidak dapat menghitung sudah kesekian kalinya sebuah
remote control televisi menjadi topik perdebatan yang panjang di rumahku. Dan
tidak terlalu mengherankan, ketika Sinta─kakakku satu-satunya, bergumul dengan
percakapan keras bersama ayahku cuma gara-gara tayangan gosip artis yang
menikah dengan janda kaya raya. Dan masalah utamanya adalah berapa anak janda
kaya raya itu. Dengan artian, mereka bertengkar gara-gara perselisihan jumlah.
Bisa kau bayangkan itu?
Aku tahu, kau akan menganggap hal yang terjadi merupakan
hal yang lumrah terjadi dalam satu keluarga. Kau juga akan mengatakan bahwa hal
kecil memang selalu menyulut emosi. Aku bisa menjamin aku hidup di lingkungan
yang berbeda, terutama alasannya adalah waktu. Aku berani bertaruh, kau tidak
akan menemukan di rumah mana pun cuma gara-gara hal yang sepele melewatkan
waktu sepanjang hari dalam satu harimu berdebat untuk itu. Bisa kau bayangkan
betapa lelahnya mulutmu bergerak. Dan kurasa kau sekarang mulai terpingkal atas
kebodohan itu. Banyak hal sepele yang menjadi topik besar di rumahku dan itu
sangat sulit aku jabarkan satu-satu. Secara singkat, kata yang mewakili keluargaku
adalah super ribet.
Salah satu hal positif yang kudapatkan dari ibu mengenai
memasak. Ibu punya resep masakan yang bisa kuunduh setiap saat. Bahkan aku
tidak terlalu berlebihan bila mengatakan ibu adalah juru masak terbaik yang
pernah ada. Ibu bukan tipikal wanita yang menjerat pria dengan kecantikan dari
luar. Ia lebih mempertimbangkan yang berada di dalam dirinya. Dan salah satu
yang beruntung dan terpikat adalah ayahku. Suatu ketika, ibu mengatakan padaku
bahwa ayahku tidak pandai memilih wanita berkuku lentik, ia cuma tergila-gila
pada masakan. Tanpa perlu kutanyakan, aku tahu ayah jatuh cinta pertama kali
pada masakan ibu, bukan ibu.
Karena hal itu, ibu selalu bersikeras agar aku bisa
sepandai atau lebih pandai darinya untuk urusan perut. “Kelak kau akan tahu,
apa yang membuat pria betah di rumah selain cita rasa, masakan pun punya
seni”─ibu mengatakan tidak persis begitu, tapi intinya seperti itu. Namun
sayangnya, aku tidak menurunkan sama sekali bakat dari ibuku.
Memang tak selamanya urusan perut menjadi prioritas.
Sesekali, ayah mengeluhkan perihal lain dari ibu. Urusan perut selalu membuat
lupa segalanya, terutama perawatan tubuh. Ibu sama sekali jauh untuk dikatakan
memiliki tubuh ideal dan bisa dikatakan ia terlampau berat. Meski tak menjadi
masalah yang berarti. Namun faktanya, jika bukan kelelahan berjalan atau nafas
tersengal, tentu keluhannya adalah penyakit. Ibu memiliki kolesterol tinggi dan
asam urat akut di kaki. Mungkin aku cenderung gegabah menjadikan berat badan
sebagai penyebabnya. Tapi kemungkinan berat badan bisa menjadi salah satunya.
Entah dengan alasan apa, aku merasa bersyukur di lahirkan
di kota ini dan dari keluarga ini, meski aku menjadi orang aneh sekalipun.
Namun aku lebih bersyukur lagi karena setelah melewati usiaku dua puluh tiga
tahun ini, aku masih merasakan hal yang sama terhadap segalanya.
Palembang. Kota yang terletak di sebelah barat Indonesia
ini merupakan cirri khas kota pempek─penganan khas yang terkenal itu.
Seharusnya aku tak perlu memperkenalkan ini kepadamu, aku yakin kau mengenal
kotaku dengan sangat baik bahkan di luar perkiraanku. Aku juga tak perlu
mengingatkan, kalau Ampera dan Sungai Musi menjadi dua ikon yang tak bisa
terpisahkan dan terlupakan dari bagian kota ini. Namun aku tidak akan membandingkan
Ampera dengan Golden Gate San Fransisco, yang tentu kedua-duanya memiliki
keindahan dan kelebihan masing-masing. Ampera sangat berperan penting dalam
menghubungkan daerah seberang ulu dan ilir yang dipisahkan oleh Sungai Musi.
Kupastikan kau akan merasa canggung luar biasa menikmati
Sungai Musi di bawahnya tanpa memandang Ampera di atasnya, karena di malam hari
lampu-lampu warna-warni menghias di setiap sudut-sudutnya, yang seakan-akan
dibuat menyerupai kunang-kunang raksasa yang bekedap-kedip. Kuberitahu,
sedikitnya sekali dalam sebulan kau harus menyempatkan berada di malam hari menjadi
salah satu saksi di antara keramaian orang yang menikmati pemandangan ini. Meski
kita tahu, sungai di mana pun berada tidak terlalu jernih untuk menembus
batu-batu juga pasir di dalamnya.
Di sisi lain, kau akan menemukan pasar 16 ilir─pusat
grosir terbesar di kota ini. Dan tak jauh dari tepi sungai berdiri benteng yang
merupakan bangunan kraton pada abad tujuh belas yang menjadi pusat kesultanan
Palembang. Selain menyedot wisatawan, bangunan ini dimanfaatkan sebagai markas
Kodim Sriwijaya. Setelah kau berada di sini, kau bisa mengajak siapa pun untuk
melewatkan makan malam di River Side─sebuah resto yang berlatar pemandangan
langit dan keindahan sungai. Aku berani menjamin kau akan mendengarkan riak air
setiap kali kau menyumpal mulutmu dengan sendok. Namun sampai detik ini, aku
tidak pernah berani membayangkan keromantisan itu bersama dengan seorang pria
bahkan mempertimbakannya sekalipun, selain keluargaku sendiri. Tentu saja kami
pernah ke sana apalagi pada awal-awal bulan saat kau tidak perlu cemas atas
tagihan kredit karena kocek terisi kembali.
Sedangkan rumahku sama sekali jauh dari tempat itu. Aku
berada di pinggir kota yang bila kau menaiki angkot atau bus kota harus menaruh
perhatian lebih pada jurusan Perumnas. Tepatnya, di jalan asahan raya aku
menetap. Pada masa pemerintahan Gubernur saat ini yang telah berlangsung tiga
tahun masa jabatan. Sebuah partai besar menggadangnya menjadi calon kandidat Gubernur
kota lain yang lebih besar. Dan aku tahu, lewat televisi rumahku satu-satunya,
semua yang mendukung harus segera mengatasi kekecewaan ketika gagal telak
mendapatkan simpati. Belum lagi masalah kontra yang ditinggalkan. Aku tidak
menyalahkan harapan Gubernur dan aku juga tidak membenarkan tindakan yang jauh
di luar kendali itu. Sebagai perwakilan masyarakat, kurasa mereka meminta
padanya untuk lebih berhati-hati.
Kadang-kadang topik permbicaraan kami berloncatan dari
satu topik ke topik lain; mulai dari politik sampai hal yang tidak habis pikir,
misalkan mempertanyakan benda mungil apa yang menempel pada baju Perwira atau
mempermasalahkan ketebalan bedak artis yang tak rata.
Ngomong-ngomong tentang topik, namun hal itu bukan
berarti ada hubungannya dengan pekerjaanku. Kuakui aku memang lebih antusias dengan
saluran acara yang menyiarkan berita anak-anak yang sangat berkaitan erat
dengan pekerjaanku saat ini. Setiap pagi kau akan melihat aku mengatur barisan
atau memimpin doa ketika jam waktunya anak-anak makan. Tapi ini tidak terlihat
merepotkan seperti yang kau bayangkan, mengingat alasannya aku pecinta
anak-anak dan ini tampak menyenangkan bagiku.
Buatku definisi repot ketika kau harus menjabarkan uraian
trigonometri atau menghitung jutaan uang dan mengemasnya dalam satu tabel debet
dan kredit, bahkan aku tidak membayangkan bila aku berada di posisi mengerikan
itu. Tak ada kemungkinannya bila kepastiannya adalah aku tampak begitu payah. Bahkan
aku tidak perlu menutup-nutupi bagian otak mana dalam diriku yang berkembang
lebih baik. Hingga aku lebih mudah menjelaskan pada setiap orang yang
mempertanyakan kredibilitasku dan mengatakan kepada mereka, “Aku tidak bodoh
hanya saja aku memiliki kepintaran di bidang yang berbeda.” Dengan wajah yang
berapi-api aku akan menjabarkan keahlianku dalam bidang seni, terutama dalam
dunia kepenulisan, kurasa aku juga perlu menceritakan media-media mana saja
yang telah memuat cerpenku dan aku memiliki daya ingat yang cukup kuat tapi
tidak pada penangkapanku. “Sebentar lagi aku akan meluncurkan novel perdanaku,”
sesekali aku memang perlu sedikit angkuh meski kenyataannya tidak semudah
demikian.
Dan aku tidak perlu mencemaskan kalau pada akhirnya
mereka tetap mencibirku, karena aku telah mempersiapkan amunisi terakhir yang
akan membuat mulut mereka ternganga, sekiranya aku akan berkata, “Sayang sekali
otak kananku lebih berkembang dengan baik daripada yang kau punya.” Setelahnya
aku akan merasa lebih lega dari sebelumnya dan lebih mantap melangkah
meninggalkan mereka.
Meskipun begitu, pada faktanya aku bukan orang setega
itu. Bahkan aku tak berani bicara bila tak ada yang memulai apalagi dengan
keangkuhan yang luar biasa seperti itu. Aku hanya akan mengambil tindakan saat
aku merasa alat pendengaranku mulai tak nyaman dengan situasinya. Secara sadar,
aku adalah orang yang minim percaya diri.
Memang menjadi guru honor di taman kanak-kanak bukanlah
profesi yang menghasilkan banyak uang, tapi mencari uang tentu saja bukanlah
satu-satunya tujuanku. Alasanku adalah bekerja dengan cara menyenangkan. Aku
menikmati dengan caraku sendiri. Hanya sedikit sekali orang yang memahami dan
merasakan kegembiraanku, setidaknya aku melakukan itu tanpa dasar paksaan.
Karena pada hari ini, sesuatu paksaan menjadi sebuah tuntutan yang harus
dilaksanakan meski mengubah diri sendiri sekalipun. Dan kemungkinannya, tak ada
yang mau mengambil keputusan seperti aku.
Dan aku menaruh perhatian lebih pada gadis kecil berkulit
putih itu. Aku menyukai Jani sejak pertama ia masuk di kelas ini. Tak ada yang
perlu membuatku tak menyukainya apalagi bola matanya yang bening membuatku
terkesan sejak pertama kali ia menatapku. Aku bisa merasakan kedalaman dan
kehangatan yang tak terkira.
Aku hapal betul setiap berselang dua hari, Jani akan
mengganti mode rambutnya, yang justru malah tampak seperti media obsesi
orangtuanya bukan dasar kemauannya. Meski begitu, kuakui ia mengubahnya menjadi
lebih tampak cantik. Pada hari pertama, aku akan melihat dua kepang berada di
kanan-kiri kepalanya, berselang dua hari selanjutnya ia tampak begitu manis
dengan poni dan kuncit kuda di belakangnya dan berikut hari selanjutnya ia
tampil sederhana dengan jepit-jepit yang menghias belahan kanan-kiri rambutnya.
Dan semua perhatianku tidak cuma tertuju pada perawakannya saja, ia juga
memiliki nilai akademik yang baik. Aku tidak terlalu berlebih menjadikan Jani
sebagai murid yang paling pintar di kelasku.
Suatu ketika, aku bertanya pada Jani, apa yang sebenarnya
yang ia buat? (saat itu berlangsung
pelajaran menyusun balok-balok). Ia menatapku dan aku bisa melihat bibir kecilnya
bergerak dengan sangat manis, “Aku sedang membangun masjid di dekat rumahku,
Bu, tempat itu tidak cukup menampung banyak orang saat beribadah.” Betapa aku
terkejut mendengarnya tapi aku tidak memperlihatkannya. Saat di usianya aku masih
tidak mengerti tentang segalanya. Aku tak habis pikir bagaimana Jani bisa
memliki pemikiran luar biasa hebat seperti itu.
Selain Jani, aku juga memperhatikan Radit, bocah yang
menarik perhatianku bukan lantaran ia sama manisnya dengan Jani. Radit sama
sekali tidak memiliki bakat untuk itu. Bila kau ingin dikenang oleh gurumu
sepanjang masa, maka yang perlu kau lakukan adalah kau harus menonjol di antara
mereka dengan menyematkan awalan”ter-“ pada predikat yang kau sandang. Tentu
saja kalau tidak terpintar, kau adalah ternakal di kelasmu. Dan kenyataannya
Radit sepeti itu.
0 komentar:
:)) :)] ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} ~x( :-t b-( :-L x( =))
Posting Komentar