Tentang Saya


Hai! saya seorang yang sangat mencintai dunia tulis menulis.....

Bagaimana tidak hidupku bergumul dengan kata-kata atau cukup dibilang kata-kata  sudah meracuni saat usiaku masih sangat hijau. Aku ingat ketika ayah pertama kali  mengumpulkan satu per satu buku, entah buku apa saja itu. Ia bilang, “Otak harus dipenuhi kata-kata”. Buku yang ayah beli bukanlah buku yang mahal atau buku yang sedang ngehit waktu itu. Ayah lebih menyukai buku-buku yang telah usang di toko loak, dengan alasan : di samping biaya yang cukup murah meriah, buku itu juga mengandung sejarah dengan kata-kata yang lebih menarik. Tak masalah bagiku.
Mengingatnya kembali seperti hujan buku. Berserakkan di ruang tamuku, mataku berbinar menilik satu per satu buku yang berhambur. Ada buku kartun, petualangan, sastra, majalah, komik dan macam-macam lainnya. Ayah telah memupuk sebuah keinginan besar dan dari sebuah rumah kami yang sangat sederhana itu−ayah merakit impiannya. Awal tujuannya hanya satu agar anak-anaknya suka membaca. Dan di beranda rumah kami, dengan tangannya sendiri, ia bangun gubuk kecil.
Dengan dinding-dinding terbuat dari bambu-bambu tua yang telah dipotong-potong, sedangkan rak-rak buku ia buat dari papan-papan yang tak terpakai di belakang rumah, ia susun dengan rapi dengan paku yang ia lekatkan antara dinding dan rak buku. Sementara, untuk daun pintunya−ayah hanya menutupnya dengan tirai panjang yang tersimpan di tumpukkan paling bawah di dalam lemari. Hanya tinggal memasang lampu dengan sinar tak terlalu meyilaukan dan menyusun buku-buku di atas rak.  Jadilah sebuah perpustakaan kecil di depan rumahku.
Perpustakaan kecil berukuran 4x3 meter. Ayah juga menambahkan nama yang disematkan di atas pohon jambu. Ia gunakan potongan kayu-kayu kecil yang dibentuk menjadi sebuah nama “REDORE”. Yah! perpustakaan REDORE−yang diambil dari singkatan nama anak-anak ayah. Reti−kakak pertamaku, Dona−kakak keduaku, dan aku−Resa. Ternyata, makin lama perpustakaan di depan rumahku menjadi cukup terkenal.
Tetanggaku yang sebaya dan orang-orang yang rumahnya cukup jauh juga ikut-ikutan datang untuk menyewa buku bacaan di sini. Kebetulan rumahku disebut tempat strategis atau cukup dibilang rumahku sebagai tempat lorong pelintasan menuju pasar, hingga banyak orang-orang yang jauh akan datang melihat dan tertarik dengan perpustaakn kecil yang dibangun ayah. Aku sering melihat mereka mampir ke rumahku dengan membawa sejumlah barang-barang belanjaan dari pasar. Sebelum pulang ke rumah, mereka ke sini terlebih dahulu. Ada ibu-ibu yang menyewa buku banyak sekali, ia bilang untuk anaknya yang kesulitan membaca. Ada juga bocah-bocah tanpa ditemani ibunya datang ke sini untuk membaca buku.
Apalagi pada saat liburan, mereka akan banyak berkunjung ke rumahku. Mereka menganggap membaca buku adalah salah satu pengisi liburan yang sangat menarik. Apalagi diselingi dengan jajanan-jajanan pempek (makanan khas kota Palembang)−yang ibu jual di samping perpustakaan. Sehabis pulang sekolah, aku segera menjaga tempat penyewaan buku, sembari juga asyik membaca-baca buku. Mungkin cara ini lebih efektif membuatku menyukai membaca. Karena di beranda rumahku telah dijadikan tempat berkumpul bocah-bocah untuk membaca.
Tak banyak uang tambahan yang kami dapat dari sebuah perpustakaan kecil ini. Karena satu buku, kami hanya menyewakan Rp 100,- saja dalam satu hari. Cukup Murah, bukan?. Dibanding dengan penyewaan buku di tempat lainnya, yang berkisar antara Rp 300,- sampai Rp 500,- dalam satu hari pada rentang 16 tahun yang lalu. Bagi ayah, itu sudah dirasa sangat cukup. Apalagi tujuannya bukan mencari uang, hanya untuk membiasakan anak-anaknya dan anak-anak yang lain gemar membaca. Seringkali pula, buku-buku yang disewa lenyap begitu saja. Kemungkinannya mereka terlalu sibuk atau lupa mengembalikannya.  Tak jarang, buku-buku di dalam rak banyak yang kosong. Hingga ayah mulai menambah-nambah koleksi buku kembali.
Selain sebagai pembaca dan menjaga perpustakaan−aku juga bertugas sebagai penagih buku (menurut bahasaku). Dengan langkah sigap, aku bersama temanku menyelusuri jalan demi jalan, melewati lorong demi lorong, menyebrangi jembatan dan berjalan di trotoar−mencari alamat rumah mereka, terkadang kalau kami tidak hapal jalannya, kami sering bertanya sana-sini. Tapi, alamat yang kami cari, hanya sebatas di dekat-dekat rumahku saja. Karena ayah tak akan mengizinkan bila tempatnya terlalu jauh. Bila dirasa terlalu jauh, ayah akan mengambil alih tugasnya itu.
Biasanya mereka akan kena denda untuk hari yang dihabiskannya bersama buku. Tapi juga beberapa kali buku-buku itu benar-benar lenyap, mereka kadang menggunakan alamat-alamat  fiktif. Tak apalah. Bagi ayah, selama buku itu bermanfaat bagi mereka.
Rumahku semakin ramai dan aku semakin tertarik pada kata-kata. Di usiaku yang masih sangat hijau, aku telah menjadi pemimpi kelas berat. Berimajinasi dengan kata-kata. Terlebih ketika aku membaca sebuah cerita “Alfred Hitcock” dengan cerita berseri tentang detektif lima sekawan. Di sana imajinerku berpetualang ria, apalagi kata-katanya seperti sihir yang membuatku  merasakan masuk ke dalam petualangan mereka mencari permata. Aku terhanyut pada kata-kata. Hingga cerita lima sekawan menjadi salah satu cerita favorit masa kecilku dulu. Dan banyaknya referensi buku yag kubaca, membuatku mencintai kata-kata. 

Berawal dari perpustakaan yang membawa minatku membaca. Aku berangan-angan untuk tidak hanya menjadi pembaca saja, tapi juga ingin menjadi penulis cerita. Menuliskan kata-kata yang aku inginkan. Aku bisa menjadi apapun yang aku mau dengan kata-kata. Aku juga bisa berkeliling dunia dengan kata-kata. Memulainya dengan mencoret-coret curahan hati di buku. Ekspresi wajah sedih, ceria, atau marah, kuungkap di bidang datar tersebut. Semoga kelak aku bisa mewujudkannya, menjadi seorang penulis terkenal.  ^___^ ..
temukan peluang emas