Bukan
Dirimu
Kutemukan
dia di dalam dia. Meski ia tampak berbeda. Ia terlalu banyak meninggalkan dan
menanggalkan segala sesuatu di dalam otaknya. Ia bukan wanita yang banyak
bicara dan ramah.
Sekarang, aku yang harus turun tangan mengingatkan ia di mana meletakkan segala sesuatunya : handuk, sikat gigi, sabun mandi, baju ganti dan segala pretelan lainnya. Ia jarang sekali mengingatnya. Padahal lima tahun yang lalu dialah yang menginginkan desain dapur ini. Bahkan meletakkan toples gula dan kopi hanya dia yang tahu. Ia juga sering marah-marah dan menangis, entah, untuk alasan yang tidak pernah aku mengerti dan belakangan ini, ia mengaku kepalanya sering pusing. Tapi aku tak pernah mempermasalahkan bahwa ia seringkali menganggap aku tak ada.
Sekarang, aku yang harus turun tangan mengingatkan ia di mana meletakkan segala sesuatunya : handuk, sikat gigi, sabun mandi, baju ganti dan segala pretelan lainnya. Ia jarang sekali mengingatnya. Padahal lima tahun yang lalu dialah yang menginginkan desain dapur ini. Bahkan meletakkan toples gula dan kopi hanya dia yang tahu. Ia juga sering marah-marah dan menangis, entah, untuk alasan yang tidak pernah aku mengerti dan belakangan ini, ia mengaku kepalanya sering pusing. Tapi aku tak pernah mempermasalahkan bahwa ia seringkali menganggap aku tak ada.
Hampir
dua bulan ini, ia tidak pernah menbuatkanku kopi hangat lagi, setiap pagi. Kini, ia adalah ratu dan aku
pelayan. Bahkan ia menyinggung soal masakanku yang benar-benar jauh dari kata
lezat. Tapi, lagi-lagi, aku tak pernah mempermasalahkannya. Seperti pagi ini,
saat ia bilang, kopiku rasanya seperti muntahan kucing. Aku hanya tertawa dan
mengelus kepalanya.
“Bagaimana?
Kau telah mengingatnya?” ujarku dengan kedua ekor mataku.
“Apa?”
ujarnya dengan tatapan kosong.
“Aku
mencintaimu istriku.”
Tiba-tiba,
ruangan ini menjalar beku. Dingin. Dan hening. Sekejap wajahnya berubah; ia tak
banyak bicara. Meski kutunggu, ia tak pernah menyambung ucapanku. Lalu dengan
gerakan slow motion, ia menghadapkan
wajahnya ke arahku, setelah sekian lama menunduk dan malu menatapku. Wajahnya
tak banyak berubah. Meski sikapnya semakin lama semakin tenggelam. Tak apa.
Hanya saja, lima belas jahitan di atas kepalanya yang pelontos terlihat jelas.
Dan
sekali lagi, aku membelainya.
“Tak
apa Sayang. Kita akan mengingatnya perlahan-lahan. Oke!”
Aku
tahu, kemungkinan itu sangat kecil. Peluang besarnya, ingatanmu akan berlekas
menjadi kertas yang kosong. Atau kau akan terlanjur menjadi orang yang berbeda;
yang di dalam dirimu bukan dirimu.
Tapi,
aku tak pernah berubah, menjadi orang yang sama─dalam hidupmu!
0 komentar:
:)) :)] ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} ~x( :-t b-( :-L x( =))
Posting Komentar