Kehilangan
Platonis
Ruang
itu menjadi merah muda ketika ia pelan-pelan datang. Lewat ketiak gelap dan dan
ujung-ujung jurang yang berbatu. Ia menyentuhnya satu-satu. Televisi kecil yang
memiliki dua fungsi siaran radio, cermin rias dan bangku duduk yang lusuh,
jendela berterali garis-garis yang tepat memindai wajah bulan, seprai yang
selalu kutiduri, serta lantai kotak-kotak berukuran tiga puluh senti kali tiga
puluh senti. Dalam hitungan tiga jari, semua tersilap menjadi anyar.
Betapa menyenangkannya masa kecilmu,
ketika kau mengatakan memiliki sepasang kucing yang bertahan lama, selama tujuh
turunan di dalam rumahmu. Bulu-bulunya tersebar di atas sofa, lantai keramik, dan
ranjangmu. Dan menjelma menjadi butiran-butiran salju saat kipas angin besar
satu-satunya di rumahmu kau nyalakan. Seperti mimpi. Kau nyalakan juga mimpimu
itu di atas pohon mangga lebat di dekat rumahmu. Setiap lengang, bersama
temanmu menjadi waktu yang pas untukmu mencuri mangga Pak Haji Toni. Sebenarnya
dengan meminta sekalipun, Pak Toni sangat enggan menjatuhkan amarah itu
kepadamu. Hanya saja, kejahilanmu sejak kecil sudah terlihat.
Sedangkan, hamster di rumahku tak
juga berarti. Hanya beberapa bulan ia tinggal bersamaku, seminggu yang lalu, ia
bertingkah aneh. Membasahi seluruh kujur tubuhnya, dengan liurnya. Ia juga berputar tiga kali,
kala itu. Sebelum dia semaput dan megap-megap. Dan dengan rasa berat hati,
kurelakan ia terkubur di depan rumahku. Kuletakkan pula helai-helai daun kecil
di atas gundukkannya. Itu hanya satu-satunya hewan kesayanganku. Dan
satu-satunya pelajaranku. Bila kedua kalinya, aku sudah paham bagaimana cara
merawat hewan rapuh itu.
Setiap kali aku berdiri, pandanganku
selalu melampaui halaman depan rumahku. Ah, tanah itu sudah tidak lagi
bergunduk, telah rata, sama dengan yang lainnya, dan rumput-rumput jepang itu
tersebar, malah. Dan ditumbuhi tanaman hias kecil yang daunnya dibentuk bulat.
Seperti lampu.
Yah,
lampu. Lampu di salah satu ruang. Kau masih ingat bukan? Lampu itu sama seperti
lampu di ruang konsultasi─tempat pertama kita bertemu. Jarak kita hanya sepuluh
langkah saja. Dan itu, menjadi satu-satunya ingatanku tentangmu. Satu-satunya
juga, pas fotomu yang ada dalam pikiranku. Tapi kita tak banyak mengumbar
cerita dan tawa. Kita juga tak saling kenal-mengenal. Bagimu, aku adalah orang
asing. Dan bagiku, kamu adalah orang asing, yang sama-sama memiliki tujuan yang
sama. Dari tujuan itulah kita tak lagi asing.
Aku masih ingat, dering itu berbunyi
sebelum hari raya dan pertengahan waktu puasa. Tiba-tiba nomor asing di dalam
ponsel murahanku membangunkan lelapku. Lima kurang sepuluh menit. Itulah kali
pertama, kita saling sapa. Tapi waktu, telah memutuskan tempat dan ruang kita
untuk bersama. Aku telah kembali ke kotaku setelah hari akhirku melaksanakan
pembedahan. Dan tersisa beberapa menit di ruang konsultasi itu. Nyatanya, tak
ada yang berbeda. Bukankah Pulau Sumatera dan Pulau Jawa sama-sama Kepulauan
Indonesia? Perlu waktu empat puluh lima menit saja untuk sampai ke Bandara
Soekarno-Hatta. Selebihnya, kita bisa bersepakat di mana dan ke mana kita akan
makan malam bersama.
Satu jam. Satu hari. Satu bulan.
Satu tahun. Dan hampir dua tahun, namun ternyata, kita hanya mampu bercerita
lewat ponsel saja. Kita tidak pernah tahu, di tengah-tengah kita sebuah lubang
hitam makin lama makin lebar. Kita tidak pernah mengukurnya. Bukan. Kita
berpura-pura lupa. Ada jarak yang tak kasat mata yang nyaris membunuh kita.
Lewat ponsel itu, kau menyadarkanku, “Aku akan menjalani kemoterapi kembali.
Semoga kau baik-baik saja.”
Kita semua tahu, tentu saja, pada
akhirnya, ruang merah muda itu menggulirkan rindu-rindu yang tak berujung.
Tapi, pernahkah berhasrat untuk kita
saling memiliki?
Orang
Kedua
Aku diam. Dan kau diam. Kau dan aku
sama-sama diam. Seolah-olah bibir kita dirapatkan dengan plester. Dan suara
yang terjadi, hanya dari luar kita. Ditambah dengan jentik telunjuk tanganmu
yang terus bergerak menekan meja. Hingga bunyinya tok-tok-tok. Seperti suara jam yang berdetak di saat semua
terlelap. Sepi.
Tanpa memandang pun kau tahu dengan
cepat reaksiku. Belum sempat aku mengeluarkan suara, masih berproses
membulatkan bibir. Mengatur napas, masih di ujung leher, belum berhembus
sepenuhnya. Juga, otakku yang masih merangkai kalimat yang belum lengkap. Kau
selalu saja tahu. Tanpa aba-aba, kau hanya mengatakan bahwa tak ada hal yang
perlu kita bicarakan saat ini.
“Waktunya belum tepat. Kau hanya
menghancurkan suasana,” tambahnya dengan mata menanti-nanti.
Hampir setengah jam kita menunggu.
Tapi kau memiliki sejuta satu positif perasaan, bahwa ia akan datang. Tapi
kuharap, dia takkan datang─mengacaukan kita. Dan kau bisa menyimpan senyum
manismu untukku. Hanya untukku. Bukan untuk dia.
Tapi sekali lagi, kau
memperingatkanku agar aku tidak melakukan apa-apa. Padahal, aku belum sempat
memikirkan apa-apa. Yah! Kau akan selalu menjadi pemimpin yang handal. Dan aku,
selalu dan selalu akan menjadi bawahanmu yang mengikutimu. Dan aku rela,
ikut-ikutan menunggu.
Tak lama, dari arah pintu dorong
itu, gadis cantik dengan rambut menjutai lurus segera menusuk matamu. Tentu,
dengan anak panah yang paling tajam sedunia. Ia berjalan menujumu, dengan tubuh
yang singset dan gaun manapun akan pantas-pantas saja di tubuhnya. Dan aku,
hanya bertubuh kerdil dan tak cukup masuk kategori wanita-wanita semampai. Ia
kenakan high heels paling mengkilap
malam ini. Aku hanya cukup dengan sepatu pantofel yang sudah berumur. Tapi,
bersamanya, kau cuma memiliki waktu bersenang-senang. Denganku, kau bisa
menangis sesuka hati. Bukankah, dengan siapa saja kita bisa membagi kesenangan?
Tapi, belum tentu dengan kesedihan. Hanya dengan orang yang menurutmu masuk
kategori nyaman, kau bisa berbagi. Dan itu cukup, membuatku bertahan.
“Hai Sayang! Maafkan aku terlambat.
Mama memintaku menemaninya sebentar untuk belanja,” ujarnya sembari cipika-cipiki di wajahmu. Begitu
mudahnya.
Dan dia, tentu dia takkan menyapaku.
Setelah kalian berdua, aku hanyalah obat nyamuk yang tugasnya menghalau nyamuk.
Kalian lupa. Di ruangan ini, dengan cepat, menjelma menjadi ruang pribadi yang
hanya kalian berdua di dalamnya. Tertawa terbahak-bahak, bernyanyi dengan suara
pas-pasan, bercumbu dengan murahan.
“Hai Karissa. Maaf ya membuatmu
menunggu lama.” Tentu aku takkan termakan umpannya. Gadis ular!
“Oh ya. Selamat ulang tahun ya,
Sayang.” Kamu─pria itu, dengan cepat mengeluarkan senyummu. Dan mengeluarkan
sebuah cincin dari dalam kotak kecil berbentuk hati berwarna merah marun. Dan
langsung menyematkannya ke jari gadis itu.
“Terima kasih Sayang.”
Sungguh, aku seperti menonton
pertunjukkan sandiwara murahan. Hallo, lelaki itu tak benar-benar mencintaimu!
Berani-beraninya kau berbunga. Mekar dengan tujuh warna.
Tiba-tiba, semua yang terlihat di
mataku mengecil. Makin lama makin tertarik. Di ujung sana, sebuah lubang hitam
menyedot ruangan ini. Lamat-lamat. Tentu juga, dia dan dia. Sepertinya, aku
tidak berada di sini. Aku berdiri sendiri dengan tegap, dan ditemani sebuah
kantong hitam yang melayang-layang di dekatku tanpa tali; hampir pecah.
Hanya dalam hitungan beberap detik,
kantong hitam itu pecah. Dan menyembur ke mataku. Tepatnya, di mataku. Hingga
aku, harus menutupi mataku yang mengembun.
Dengan cepat, rasa geram
menyergapku. Tapi, katakan saja, aku wanita tolol yang tak pernah menyalahimu. Aku
akan membaliknya dan menuding gadis itu yang jahat. Karena cinta, kataku.
Munafik. Tapi, sungguh, hanya gara-gara tumpukan rambut di atas kedua matamu.
Aku jatuh cinta.
“Oh ya, Sayang, maaf ya aku nggak bisa lama-lama di sini. Mama
menyuruhku menjemputnya di salon,” katanya. Dan kembali untuk kedua kalinya,
gadis itu menempel pipinya ke muka pria
itu.
Aku tahu, di matamu, aku hanya
menjadi orang kedua yang menjadi pacarmu. Dan menjadi orang ketiga di antara
kau dan dia.
Tapi, sungguh, menyempal di antara
kau dan dia─sangat menyakitkan.
Perpisahan
Ia
Adamas, gadis berusia sepuluh tahun. Masih jelas gurat jelujur pada kulit
layunya, kontur wajah simetris dengan tulang rahang menukik tajam, matanya
menonjol membentuk ceruk yang landai. Ia lebih sekedar putih. Terkesan memucat
dengan bibir yang ikut-ikutan memudar. Ia masih berbaring. Bobotnya menurun
drastis pada liuk tulang yang makin jelas. Ia baru saja memuntahkan makanannya
di atas lantai buram. Tidak sekali. Bahkan berkali-kali. Sudah hampir dua
minggu ia tak mengikuti pelajaran. Sementara, wanita yang terlihat tua dari
umurnya masih saja sesenggukan. Lagi-lagi, ada magma yang ingin meletus dari
dadanya. Terlebih, ia tak tahan melihat keadaan putri kecilnya. Pun, vonis yang
terkatakan dari lelaki jangkung itu.
Sepulang
dari ruang berbius itu, Adamas cukup nyaman di atas kasur berbulu angsa. Ada
boneka kesayangannya yang masih setia bertengger di pojok meja kecil. Selimut
sutra yang sesekali bulu-bulu halusnya menggelitik tubuh mungil Adamas. Serta
merta kalung berliontin biru dari teman lelakinya yang ia genggam erat. Sangat
erat.
“Ma….Mama….”
Wanita
yang terlihat tua dari umurnya tergopoh-gopoh. Ia muncul secepat kilat dari
balik pintu berlurik jambu. Rembesan air di tepi pergelangan tangannya tak jua
hirau. Wanita itu menatap putrinya dalam jarak terdekat. Lalu menarik alis
sebagai tanda ‘ada apa?’.
“Aku
ingin menikah.”
Seketika
mata wanita itu terbelalak.
***
Masih
jelas, aksara-aksara sakral berkumandang. Tak sekedar lamun, bukan pula bunga
tidur. Di ujung sana, di ujung pelataran itu, seorang bocah lelaki telah siap
menunggu. Bocah lelaki itu akan mengkhitbah yang tak lazim di antara puluhan
mata. Ada haru yang merebak, tangis yang memecah, senyum yang mengambang, dan
kecemasan yang semakin merayap..
Adamas
tampil cantik kala itu. Dengan gaun berbalon yang menutupi tubuh ringkihnya,
bibir memulas shocking pink, namun ia
tak suka rambut-rambut palsu itu di atas kepalanya. Ia lebih suka apa adanya.
Dengan kepala pelontos yang rontok satu per satu. Akibat obat-obat yang masuk
ke dalam tubuhnya. Mungkin, dua bulan waktu yang singkat.
***
Di
balik mata bocah lelaki itu berkeliar sejumlah rentet senyum termanis Adamas.
Seharusnya, ia datang ke balik bukit bersama. Mengirup udara sepekat-pekatnya,
berlari-lari tiada henti bersama. Tidak. Dari matanya, dari mata bocah lelaki
itu, yang terlihat hanya satu hal yang membayangi hidupnya, kini. Dari
pilihannya yang harus tertanggung: ia harus menduda di usia termuda.
Palembang, 2012
0 komentar:
:)) :)] ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} ~x( :-t b-( :-L x( =))
Posting Komentar