Minggu, 15 April 2012

Kehilangan



Kehilangan

Platonis
           
Ruang itu menjadi merah muda ketika ia pelan-pelan datang. Lewat ketiak gelap dan dan ujung-ujung jurang yang berbatu. Ia menyentuhnya satu-satu. Televisi kecil yang memiliki dua fungsi siaran radio, cermin rias dan bangku duduk yang lusuh, jendela berterali garis-garis yang tepat memindai wajah bulan, seprai yang selalu kutiduri, serta lantai kotak-kotak berukuran tiga puluh senti kali tiga puluh senti. Dalam hitungan tiga jari, semua tersilap menjadi anyar.     
        Dalam satu bulan penuh, segalanya fasih untuk kita bicarakan. Kita seperti teman lama yang berkubang dalam lumpur. Sebut saja: makanan lezat dari kotaku, betapa gersangnya kotamu, keluarga kita yang sama-sama dalam konsep demokratis, kebencian dan kesukaanmu terhadap gerimis dan asam jawa yang meleleh dalam mulutmu.
            Betapa menyenangkannya masa kecilmu, ketika kau mengatakan memiliki sepasang kucing yang bertahan lama, selama tujuh turunan di dalam rumahmu. Bulu-bulunya tersebar di atas sofa, lantai keramik, dan ranjangmu. Dan menjelma menjadi butiran-butiran salju saat kipas angin besar satu-satunya di rumahmu kau nyalakan. Seperti mimpi. Kau nyalakan juga mimpimu itu di atas pohon mangga lebat di dekat rumahmu. Setiap lengang, bersama temanmu menjadi waktu yang pas untukmu mencuri mangga Pak Haji Toni. Sebenarnya dengan meminta sekalipun, Pak Toni sangat enggan menjatuhkan amarah itu kepadamu. Hanya saja, kejahilanmu sejak kecil sudah terlihat.
            Sedangkan, hamster di rumahku tak juga berarti. Hanya beberapa bulan ia tinggal bersamaku, seminggu yang lalu, ia bertingkah aneh. Membasahi seluruh kujur tubuhnya,  dengan liurnya. Ia juga berputar tiga kali, kala itu. Sebelum dia semaput dan megap-megap. Dan dengan rasa berat hati, kurelakan ia terkubur di depan rumahku. Kuletakkan pula helai-helai daun kecil di atas gundukkannya. Itu hanya satu-satunya hewan kesayanganku. Dan satu-satunya pelajaranku. Bila kedua kalinya, aku sudah paham bagaimana cara merawat hewan rapuh itu.
            Setiap kali aku berdiri, pandanganku selalu melampaui halaman depan rumahku. Ah, tanah itu sudah tidak lagi bergunduk, telah rata, sama dengan yang lainnya, dan rumput-rumput jepang itu tersebar, malah. Dan ditumbuhi tanaman hias kecil yang daunnya dibentuk bulat. Seperti lampu.
Yah, lampu. Lampu di salah satu ruang. Kau masih ingat bukan? Lampu itu sama seperti lampu di ruang konsultasi─tempat pertama kita bertemu. Jarak kita hanya sepuluh langkah saja. Dan itu, menjadi satu-satunya ingatanku tentangmu. Satu-satunya juga, pas fotomu yang ada dalam pikiranku. Tapi kita tak banyak mengumbar cerita dan tawa. Kita juga tak saling kenal-mengenal. Bagimu, aku adalah orang asing. Dan bagiku, kamu adalah orang asing, yang sama-sama memiliki tujuan yang sama. Dari tujuan itulah kita tak lagi asing.
            Aku masih ingat, dering itu berbunyi sebelum hari raya dan pertengahan waktu puasa. Tiba-tiba nomor asing di dalam ponsel murahanku membangunkan lelapku. Lima kurang sepuluh menit. Itulah kali pertama, kita saling sapa. Tapi waktu, telah memutuskan tempat dan ruang kita untuk bersama. Aku telah kembali ke kotaku setelah hari akhirku melaksanakan pembedahan. Dan tersisa beberapa menit di ruang konsultasi itu. Nyatanya, tak ada yang berbeda. Bukankah Pulau Sumatera dan Pulau Jawa sama-sama Kepulauan Indonesia? Perlu waktu empat puluh lima menit saja untuk sampai ke Bandara Soekarno-Hatta. Selebihnya, kita bisa bersepakat di mana dan ke mana kita akan makan malam bersama.
            Satu jam. Satu hari. Satu bulan. Satu tahun. Dan hampir dua tahun, namun ternyata, kita hanya mampu bercerita lewat ponsel saja. Kita tidak pernah tahu, di tengah-tengah kita sebuah lubang hitam makin lama makin lebar. Kita tidak pernah mengukurnya. Bukan. Kita berpura-pura lupa. Ada jarak yang tak kasat mata yang nyaris membunuh kita. Lewat ponsel itu, kau menyadarkanku, “Aku akan menjalani kemoterapi kembali. Semoga kau baik-baik saja.”
            Kita semua tahu, tentu saja, pada akhirnya, ruang merah muda itu menggulirkan rindu-rindu yang tak berujung.
            Tapi, pernahkah berhasrat untuk kita saling memiliki?


Orang Kedua

            Aku diam. Dan kau diam. Kau dan aku sama-sama diam. Seolah-olah bibir kita dirapatkan dengan plester. Dan suara yang terjadi, hanya dari luar kita. Ditambah dengan jentik telunjuk tanganmu yang terus bergerak menekan meja. Hingga bunyinya tok-tok-tok. Seperti suara jam yang berdetak di saat semua terlelap. Sepi.
            Tanpa memandang pun kau tahu dengan cepat reaksiku. Belum sempat aku mengeluarkan suara, masih berproses membulatkan bibir. Mengatur napas, masih di ujung leher, belum berhembus sepenuhnya. Juga, otakku yang masih merangkai kalimat yang belum lengkap. Kau selalu saja tahu. Tanpa aba-aba, kau hanya mengatakan bahwa tak ada hal yang perlu kita bicarakan saat ini.
            “Waktunya belum tepat. Kau hanya menghancurkan suasana,” tambahnya dengan mata menanti-nanti.
            Hampir setengah jam kita menunggu. Tapi kau memiliki sejuta satu positif perasaan, bahwa ia akan datang. Tapi kuharap, dia takkan datang─mengacaukan kita. Dan kau bisa menyimpan senyum manismu untukku. Hanya untukku. Bukan untuk dia.
            Tapi sekali lagi, kau memperingatkanku agar aku tidak melakukan apa-apa. Padahal, aku belum sempat memikirkan apa-apa. Yah! Kau akan selalu menjadi pemimpin yang handal. Dan aku, selalu dan selalu akan menjadi bawahanmu yang mengikutimu. Dan aku rela, ikut-ikutan menunggu.
            Tak lama, dari arah pintu dorong itu, gadis cantik dengan rambut menjutai lurus segera menusuk matamu. Tentu, dengan anak panah yang paling tajam sedunia. Ia berjalan menujumu, dengan tubuh yang singset dan gaun manapun akan pantas-pantas saja di tubuhnya. Dan aku, hanya bertubuh kerdil dan tak cukup masuk kategori wanita-wanita semampai. Ia kenakan high heels paling mengkilap malam ini. Aku hanya cukup dengan sepatu pantofel yang sudah berumur. Tapi, bersamanya, kau cuma memiliki waktu bersenang-senang. Denganku, kau bisa menangis sesuka hati. Bukankah, dengan siapa saja kita bisa membagi kesenangan? Tapi, belum tentu dengan kesedihan. Hanya dengan orang yang menurutmu masuk kategori nyaman, kau bisa berbagi. Dan itu cukup, membuatku bertahan.
            “Hai Sayang! Maafkan aku terlambat. Mama memintaku menemaninya sebentar untuk belanja,” ujarnya sembari cipika-cipiki di wajahmu. Begitu mudahnya.
            Dan dia, tentu dia takkan menyapaku. Setelah kalian berdua, aku hanyalah obat nyamuk yang tugasnya menghalau nyamuk. Kalian lupa. Di ruangan ini, dengan cepat, menjelma menjadi ruang pribadi yang hanya kalian berdua di dalamnya. Tertawa terbahak-bahak, bernyanyi dengan suara pas-pasan, bercumbu dengan murahan.
            “Hai Karissa. Maaf ya membuatmu menunggu lama.” Tentu aku takkan termakan umpannya. Gadis ular!
            “Oh ya. Selamat ulang tahun ya, Sayang.” Kamu─pria itu, dengan cepat mengeluarkan senyummu. Dan mengeluarkan sebuah cincin dari dalam kotak kecil berbentuk hati berwarna merah marun. Dan langsung menyematkannya ke jari gadis itu.
            “Terima kasih Sayang.”
            Sungguh, aku seperti menonton pertunjukkan sandiwara murahan. Hallo, lelaki itu tak benar-benar mencintaimu! Berani-beraninya kau berbunga. Mekar dengan tujuh warna.
            Tiba-tiba, semua yang terlihat di mataku mengecil. Makin lama makin tertarik. Di ujung sana, sebuah lubang hitam menyedot ruangan ini. Lamat-lamat. Tentu juga, dia dan dia. Sepertinya, aku tidak berada di sini. Aku berdiri sendiri dengan tegap, dan ditemani sebuah kantong hitam yang melayang-layang di dekatku tanpa tali; hampir pecah.
            Hanya dalam hitungan beberap detik, kantong hitam itu pecah. Dan menyembur ke mataku. Tepatnya, di mataku. Hingga aku, harus menutupi mataku yang mengembun.
            Dengan cepat, rasa geram menyergapku. Tapi, katakan saja, aku wanita tolol yang tak pernah menyalahimu. Aku akan membaliknya dan menuding gadis itu yang jahat. Karena cinta, kataku. Munafik. Tapi, sungguh, hanya gara-gara tumpukan rambut di atas kedua matamu. Aku jatuh cinta.
            “Oh ya, Sayang, maaf ya aku nggak bisa lama-lama di sini. Mama menyuruhku menjemputnya di salon,” katanya. Dan kembali untuk kedua kalinya, gadis itu menempel pipinya ke  muka pria itu.
            Aku tahu, di matamu, aku hanya menjadi orang kedua yang menjadi pacarmu. Dan menjadi orang ketiga di antara kau dan dia.
            Tapi, sungguh, menyempal di antara kau dan dia─sangat menyakitkan.


Perpisahan

Ia Adamas, gadis berusia sepuluh tahun. Masih jelas gurat jelujur pada kulit layunya, kontur wajah simetris dengan tulang rahang menukik tajam, matanya menonjol membentuk ceruk yang landai. Ia lebih sekedar putih. Terkesan memucat dengan bibir yang ikut-ikutan memudar. Ia masih berbaring. Bobotnya menurun drastis pada liuk tulang yang makin jelas. Ia baru saja memuntahkan makanannya di atas lantai buram. Tidak sekali. Bahkan berkali-kali. Sudah hampir dua minggu ia tak mengikuti pelajaran. Sementara, wanita yang terlihat tua dari umurnya masih saja sesenggukan. Lagi-lagi, ada magma yang ingin meletus dari dadanya. Terlebih, ia tak tahan melihat keadaan putri kecilnya. Pun, vonis yang terkatakan dari lelaki jangkung itu.
Sepulang dari ruang berbius itu, Adamas cukup nyaman di atas kasur berbulu angsa. Ada boneka kesayangannya yang masih setia bertengger di pojok meja kecil. Selimut sutra yang sesekali bulu-bulu halusnya menggelitik tubuh mungil Adamas. Serta merta kalung berliontin biru dari teman lelakinya yang ia genggam erat. Sangat erat.
“Ma….Mama….”
Wanita yang terlihat tua dari umurnya tergopoh-gopoh. Ia muncul secepat kilat dari balik pintu berlurik jambu. Rembesan air di tepi pergelangan tangannya tak jua hirau. Wanita itu menatap putrinya dalam jarak terdekat. Lalu menarik alis sebagai tanda ‘ada apa?’.
“Aku ingin menikah.”
Seketika mata wanita itu terbelalak.

***

Masih jelas, aksara-aksara sakral berkumandang. Tak sekedar lamun, bukan pula bunga tidur. Di ujung sana, di ujung pelataran itu, seorang bocah lelaki telah siap menunggu. Bocah lelaki itu akan mengkhitbah yang tak lazim di antara puluhan mata. Ada haru yang merebak, tangis yang memecah, senyum yang mengambang, dan kecemasan yang semakin merayap..
Adamas tampil cantik kala itu. Dengan gaun berbalon yang menutupi tubuh ringkihnya, bibir memulas shocking pink, namun ia tak suka rambut-rambut palsu itu di atas kepalanya. Ia lebih suka apa adanya. Dengan kepala pelontos yang rontok satu per satu. Akibat obat-obat yang masuk ke dalam tubuhnya. Mungkin, dua bulan waktu yang singkat.

***

Di balik mata bocah lelaki itu berkeliar sejumlah rentet senyum termanis Adamas. Seharusnya, ia datang ke balik bukit bersama. Mengirup udara sepekat-pekatnya, berlari-lari tiada henti bersama. Tidak. Dari matanya, dari mata bocah lelaki itu, yang terlihat hanya satu hal yang membayangi hidupnya, kini. Dari pilihannya yang harus tertanggung: ia harus menduda di usia termuda.


Palembang, 2012

0 komentar:

Posting Komentar

temukan peluang emas