Selasa, 03 April 2012

Rumah Singgah



Tahukah kamu apakah rumah singgah itu?

Untuk kedua kalinya kami melewati belakang rumah sakit. Beberapa orang yang kami tanyakan, nyaris kompak menunjukkan arah belakang. Tak jauh dari rumah sakit, berbelok sedikit sesuai garis parkir. Cukup melewati tujuh mobil dari kanan-kiri.

Di sana berdiri dengan megah “Rumah Singgah” berlantai empat tingkat. Di depan berandanya cukup menyejukkan mata, secuil pemandangan hijau yang mengalihkan rutinitas. Entah, apa namanya, ada pohon mini yang dibentuk lucu dari kumpulan-kumpulan daunnya. Tak jauh dari sana, berkelang tiga kepalan tangan, ada kolam kecil yang berceriap layaknya burung-burung kecil yang bernyanyi. Hamparan rumput gajah tersebar rapi seperti permadani. Mungkin ada campur tangan feng shui  sebagai keberuntungan. Mungkin juga, beruntung karena kebetulan. Kebetulan sinar pagi, akan selalu menyorot tajam ke dalam beranda. Tak perlu dijelaskan, kita tahu sinar pagi sangat bagus untuk kesehatan tulang. Dan kebetulan pula, sorotan itu akan sirna, saat menunjukkan jam dua belas tepat. Bagi kita semua, mentari siang seperti neraka. Ia redup, dan dari arah sebelah kiri, angin akan masuk ke rongga-rongga kekesalan kita.

Sebagai basement. Di dasar ruangan ini, tak ada petakan-petakan kamar, yang tergelar, namun berupa penyewaan lapak bagi penjual hidangan. Sebelas lima belas. Beberapa dokter dan para suster akan menjamur menempati bangku-bangku meja makan dan beberapa penjual yang menyodorkan menu makan siang. Terhitung ada lima penjual berbeda di sini. Sebenarnya ada enam, namun satu lapak terlihat kosong, hanya tertulis huruf besar-besar di atas kaca etalasenya “ Sedia Pempek Telur.”

Tiba-tiba, seseorang melintas di hadapan saya. Wanita paruh baya yang terlihat cukup anggun. Tidak, mungkin terlalu anggun.  Saya rasa, sesuatu benda berharga yang jatuh di atas kepalanya, mustahil juga membuatnya mengalihkan perhatian ke bawah. Sesekali  saya curi pandang, menatap belakang kepalanya, mungkin saja, ada tali besar yang mengikat kepalanya ke atas, hingga sulit tertunduk. Ia mendongak. Bibirnya bergincu merah marun, dengan garis bibir yang sangat jelas. Rambutnya anti badai. Entah berapa banyak hairspray yang ia gunakan untuk mengkakukan per helai rambutnya? Bervolume. Yang tak saya suka, sebelum ia mencuri perhatian saya, wanita itu tidak membalas senyum sapa dari ayah saya.

Pegawai yang duduk di sebelah saya tiba-tiba berdiri. Sebelum benar-benar beranjak dari alas duduknya dan melanjutkan tugasnya. Ia bilang kepada saya dengan berbisik, bahwa wanita itu pengurus rumah singgah ini. Hanya dengan menaikkan alis saja, wanita itu mampu membuat petugas lelaki itu memahami sasmita.

Seperti saya, dan kebanyakan orang-orang yang berasal dari luar kota─Palembang. Tiba-tiba, otakmu akan terasa penuh dengan bola-bola skeptis yang cukup membuatmu doyong ke depan-belakang dan kanan-kiri. Dan tiba-tiba, ruang sempit yang kamu injak menjelma menjadi semesta tanpa tapal batas. Dan kamu hanya semut kecil dari benda-benda yang menjulang. Dan matamu seketika berkabut.

Di tahun 2007, bangunan fisik rumah singgah ini telah sempurna, yang sejatinya, memiliki visi dan misi yang mulia. Yang diharapkan akan membantu pasien-pasien dari luar kota yang dirujuk ke pusat sebagai tempat tinggal sementara. Rumah singgah ini terbentuk dari berbagai macam donator-donatur yang mengatasnamakan pribadi atau pun badan.

Tapi sepanjang perkembangannya, yang menelan bulat-bulat menjadi saksi mata. Di tahun 2009, tepatnya pertengahan tahun, prestise yang dibangun dengan baik, estimasi saya, tiada cukup membuat saya terkagum-kagum. Saya tidak mendapatkan kenyamanan yang berarti, yang katanya mengaatasnamakan “kepedulian sesama” di atas segala-galanya.

Mungkin, bagi keluarga saya─hanya mampu menebalkan satu garis kerut di tengah-tengah jidat. Namun, bagaimana dengan yang lainnya? Yang memiliki penghasilan tak menentu, yang barangkali terkadang tak menghasilkan apa-apa sebulan. Tanpa disadari atau disadari, lima garis kerut sampai sepuluh garis kerut semakin menebalkan raut kepayahan mereka.

Aturan-aturan pelarangan yang berlaku seperti mencekik. Tak ada dapur memasak sebagai alternatif mengkerucutkan pengeluaran. Pelarangan mencuci pakaian sendiri; mengharuskan laundry. Segala peretelan peralatan yang diembargo untuk masuk ruangan. Apakah harus setiap kali kita kehausan, membeli berbotol-botol air mineral? Tentu, global warming membuat kita terserang kekeringan. Dan kebanyakan orang, lebih memilih membeli dehidrasi, ketimbang mengeluarkan kocek, yang mungkin hari esok lebih membutuhkan kertas bergambar itu.

Dan ini semakin jelas, membuat lubang segregasi yang semakin besar, antara penguasa dan kaum marjinal.



Rumah singgah itu masih berdiri kokoh. Tapi, benda diam itu hanya akan menjadi saksi, keluar-masuknya orang-orang yang lebih memilih tempat persinggahan lainnya. Dan semakin lama, bangunan itu lebih berfungsi sebagai koridor; yang hanya berfungsi sebagai tempat perlewatan. Bukan rumah singgah!!!.



Palembang, 2012
(Kumpulan-kumpulan kenangan)

0 komentar:

Posting Komentar

temukan peluang emas