Rabu, 24 Agustus 2011

Nyala Api Berwarna Biru


Jika hal yang tak terbantahkan adalah ketika aku melewati pintu bercorak lurik di ujung ruang. Pintu yang tak pernah menganga dan kuncinya selalu tersimpan di saku celana kakek. Pintu itu tak cukup jauh dari pintu kamarku, hanya berkelang satu pintu dari kamar kakek. Entah, mataku bergidik ketika pandangan kulempar ke arah pintu berlurik itu. Seolah-olah ada sepasang mata yang selalu mengintai dan mengawasiku dari ujung sana.
Bagiku, hidup bersama kakek seperti kematian. Terperangkap di rumah tua yang selalu menawarkan kidung lara. Laksana burung hantu yang bergemuruh pada malam-malam kelam. Terkadang, aku sedikit terganggu dengan suara berdegup-degup itu, ditambah suara lenguh yang entah darimana asalnya. Suara yang lebih terdengar seperti nafas tak teratur. Sesenggukan. Bahkan terisak-isak. “Jangan kau pedulikan dengan suara-suara itu”, begitu ucap kakek dengan nada bergelora saat kutanya perihal gangguan di tiap-tiap malam.
Perihal ibu, kukatakan ia sudah mati. Sejak ibu melemparkanku ke rumah ini, aku tak pernah menganggap ia masih bernafas. Kukutuki ia di setiap malam bersama lelaki yang selalu mendoktrinku dengan sebutan “papa” itu. Kumaknai wanita itu tak lebih dari kumpul kebo yang mengkhianati cinta suci ayahku.
Hanya berkelang beberapa hari kematian ayah, ibu menjalin hubungan kembali dengan lelaki bermata iblis. Tak sedikitpun aku merasa simpati dengan lelaki bermuka dua itu. Sudah kukatakan berkali-kali bahwa lelaki itu maniak seks. Ia selalu berpindah-pindah klub malam demi menyesapi beberapa tetes cairan lengket dari selangkangan betina-betina liar. Lantaran tak tahan dengan mulut bisaku, ibu lebih memilih mendampratku ke sini ketimbang menanyakan perihal gila yang dilakukan suaminya itu.
Setiap akhir pekan, ibu akan menghabiskan waktu mengunjungiku di sini. Meski, tak barang sedikitpun aku berniat menemuinya di ruang tamu yang berkesan gothic itu. Aku lebih memilih mengunci diriku di dalam kamar. Entah mengapa, identik hitam terjuntai bebas di setiap ruangan. Barangkali sejak kematian nenekku, cat dinding berlapis cerah itu dipugar menjadi hitam kelam. Sepekat malam di ruangan tak berlampu.
Kupikir ini sebuah perasaan cinta yang mendalam. Begitu yang kutangkap dari sorot mata lelaki tua itu. Bahkan kakek menutup semua tirai berhari-hari lamanya sebagai tanda berkabung teramat dalam. Tak ada sang surya secuilpun membias sudut-sudut ruangan. Kudengar pula rintihan teramat perih dari kamar kakek. Pernah suatu ketika, aku hendak membersihkan pigura yang terpajang foto kakek dan nenek yang saling merangkul pundak, di sana berhias leher nenek dengan liontin zamrud biru yang seakan memancar kilau biru tepat mengena di perapian yang saling berhadapan. Nyaris seperti nyala api berwarna biru. Begitu memikat. Sedangkan di sekelilingnya hanya berlatarkan pekat kegelapan. Hitam. Aku masih ingat betapa garangnya ia merambet pigura itu dari kepalan tanganku.
“Bocah tengik jangan pernah kau menyentuh apapun dari rumah ini. Tanganmu tak cukup terampil untuk merawatnya.”
Aku merasa terabaikan. Terkadang batinku nyinyir, bertanya perihal dari rahim siapa aku meluncur atau aku bukanlah cucu siapa-siapa. Dengan begitu, malam-malamku selalu berakhir dengan minum-minuman beralkohol itu. Dan Tania, gadis berbola mata indah itu akan selalu menemaniku di bar yang tentu saja dekat dengan tempat kerjaku. Katakan saja saat ini, ia wanitaku. Menjadi fotografer itu pilihanku. Hal itu pula, penyebabku menyukai pada pigura di ruang tamu itu. Aku lebih terlihat bergairah memfoto sebuah objek berdarah. Entah kematian dengan sayatan leher yang nyaris terpenggal, kisah gantung diri gadis berusia 17 tahun, atau pembakaran massal seluruh keluarga lengkap dengan tubuh-tubuh terpanggang. “Aku lebih suka ekspresi yang tak dibuat-buat”, ujarku suatu ketika kepada Tania.
Sesekali waktu aku juga pernah memotret pergelangan tangan kakek yang membentuk garis cukup dalam dan panjang sepanjang lekukan tangan. Terlihat seperti sebuah sayatan. Dengan muka yang terlihat pucat dan berjalan sempoyongan. Atau ketika pagi-pagi sekali, kutemui beberapa tetesan darah menggumpal dari arah kamar berlurik menuju kamar kakek. Saat kutanya, ia hanya menunjukkan dua bola mata yang hampir copot. Beberapa kali pula, di malam-malam larut saat kuterjaga karena perutku yang tak bisa menampung air kemihku. Sayup-sayup kudengar suara pintu terbuka dengan derit yang cukup pelan, dengan mata nyalang kulihat punggung kakek menuju masuk kamar berlurik itu. Tak cukup lama kutempelkan telingaku di pintu berlurik. Terdengar beberapa kali suara kakek dan beberapa alat yang berbunyi berdenting-denting. Seperti nyanyian elegi.
Telingaku kupasang selarut malam. Kembali suara kidung burung hantu memantul-mantul di ruangan, nyaris menyamarkan suara pintu yang berderit. Punggung kakek semakin merunduk, dengan langkah seirama satu-satu. Kutunggu ia cukup lama di dalam sana, tak terpungkiri mata cekung kakek dan wajah yang semakin pucat memberanikanku untuk bergerak. Kenop pintu yang sedari dulu, hanya menjadi saksi pemuas saat kusentuh. Kutawarkan lagi, lebih dalam.
Memasukinya, tak ada cahaya yang berpendar. Hanya tempias samar dari sudut ruang lainnya. Kutambah sinar lagi dari lampu senter yang kugenggam. Ruangan yang terasa sesak, sekilas hanya terdiri dari jajaran-jajaran rak buku tua yang menjulang. Terdengar beberapa kali suara kakek dan beberapa alat yang berbunyi berdenting-denting dari arah ruangan yang dalam. Di pojok, terlihat meja baca yang masih kokoh, beberapa jaring laba-laba menempel di sudut-sudut menukik, di atas meja tampak sebilah pisau lengkap dengan goresan darah di sekitar ujungnya. Merah pekat. Kususuri tetesan darah yang tersusun rapi membentuk sepola jejak. Suara-suara aneh semakin jelas kudengar. Sesaat kuterhenti pada sebuah titik lantai. Letak yang tak begitu berjarak dengan sorotan lampu tepat di atasnya.
Tak ada lagi ruang untuk berkata. Bergidik. Di sana kulihat kakek bersama seorang wanita dengan rambut tergerai panjang, menyodorkan gelas berupa air merah pekat. Habis tak bersisa. Tak puas, dengan wajah kakek yang bersiap menyodorkan pergelangan tangan lainnya hingga lumer di sela-sela bibirnya. Aku tertangkap basah. Ia menoleh ke arahku, menawanku dengan mata, dengan seringai yang membuka lebar bibirnya. Di sisi kanan-kirinya kulihat taring-taring yang begitu tajam dan panjang. Wajahnya berkerut mengkeriut.
Dan tepat mengarah kepadaku, sesuatu telah menyilaukan mata kiriku. Semakin benderang dan terus benderang, serupa nyala api berwarna biru. Aku terhunus.


0 komentar:

Posting Komentar

temukan peluang emas