Rabu, 24 Agustus 2011

Jalan Pendosa


Entah, sejak kapan kami  mengawali pembicaraan. Kami telah terperangkap dalam bibir yang saling tindih. Berpagutan. Hingga sulurnya menjulur sekenanya lubang yang terbuka. Sampai memerah. Gemuruh ombak menelanjangi kami dengan suara riuhnya. Menghapus pasir-pasir di sela-sela jemari dan selangkangan kami. Menghapus anyir dan warna pekat berbuih bening. Lelaki itu kembali membelaiku. Dengan mata seringai yang penuh awas : tatapan laki-laki pendosa.
Setelah cairan itu lumer di mulutnya. Ia akan kembali menjadi lelaki penurut. Lagipula, kami memang tak memiliki ikatan. Di bawah tangan pun tak ada. Kami hanya menamainya─hubungan bisnis. Tak lebih. Lalu, hujan uang pun akan turun tepat di atas mataku. Aku tersenyum hingga semakin menasbihkan─aku murahan. Wanita yang terperangkap dari kata coba-coba.
“Kau akan kembali?”
Ombak terus mengikis kami. Lidahnya menjilat-jilat sisa pekat hingga tenggelam bersama buih. Sinar senja kuning keemasan membias pada tubuhku yang hanya tertutup sehelai kain tipis. Kuawasi ia yang tengah mengenakan celana. Lelaki lugu yang penuh taring. Entah, bagaimana kacamatanya menjadi topeng bagi dirinya. Ia tak kalah menikmati.
“Kau mau aku kembali.”
Aku tergugu. Barangkali, mengingatkanku pertama kali mengenal dunia hitam ini. Yang tak lain, Zahra, teman yang purba berputar dan menikmati gelimang keemasan,  memperkenalkan aku dengannya. Meski malam itu Zahra harus berjalan mengangkang. Ia puas dengan barang-barang mewah di tangannya.
Tapi, ada denyar berbeda mengusik hatiku. Bukanlah, persoalan bisnis. Atau dahaga yang terpuas. Aku menamainya, bersemi. Seakan pupuk yang ia sebar di denyar-denyar jantungku. Bertumbuh tinggi hingga kian meninggi. Terlebih, pada matanya yang sesekali meminta kasih sayangku. Seolah anak kecil yang berhambur meminta pelukan seorang ibu. Aku sulit membedakan antara rasa dan hawa. Di suatu waktu ia pernah mengatakan, “istriku seperti Medusa. Wanita ular berhati kejam.” Sederetan luka-luka cakar mewarnai tubuhnya, ia tunjukkan padaku.
“Kuharap kau meminta mainanmu kembali selayaknya anak kecil.”
Senja kian memburamkan pandangan kami. Kami meraba. Mencari pegangan, seolah-olah takut ombak membawa salah satu dari kami. Hingga merasai jemari-jemari pendosa saling menyentuh. Terikat makin kuat. Lalu lerai, sesaat mosaik ingatan, berkelebat di mata lelaki itu. Ia tak kuasa mengingat perut buncit istrinya yang tengah menunggunya di rumah.
“Kuharap uang itu cukup membiayai pengobatan ibumu, Tania. Setelah itu jangan kau kembali ke dunia ini. Kau wanita baik-baik.”
Aku tertegun. Mataku berkabut. Di tempat lain, seorang ibu tengah menungguku di rumah sakit. Sekian lama, ia tak sadarkan diri. Sebuah tumor otak telah menjalar pada tubuhnya sebelum ia mengetahui. Aku butuh dana yang tak cukup seperak dua perak uang saja. Bahkan lebih. Mungkin hal pertama yang membuatku terjerumus dalam malam-malam kelam. Selayaknya panggung sandiwara. Aku menikmati kehidupanku di atas kepedihan.
“Aku lelaki pendosa. Bahkan aku pernah berpikir, aku takut mati di saat tubuh kita berpagut di pantai ini.”
Mataku tak lagi berkabut. Nyaris meneteskan air yang menggalir beranak pinak. Lelaki lugu itu berubah menjadi malaikat, dengan sayap putih di kedua sisi bahunya. Terlihat di ujung jalan pantai, seekor kuda putih menungguinya. Tentu saja, dengan senyum dan kikihan memanggil-manggil sang majikan. Ia tak  lagi lugu.
Menjatuhkan senyumnya tepat di kedua mataku. Pandangannya menyeringai, berubah menjadi teduh. Barangkali, menyambut kelahiran daging merah tengah menyadarkannya. Meski terselip suara samar berbisik, “Aku ingin menjadi seorang bapak yang baik.” Ada haru yang merebak. Yang terus mengukuhkan pikiranku sejak dulu, “Dia lelaki baik-baik.”
“Kau hanya tersesat. Maka, kembalilah.”
Kutandai sebagai pengukuhan, ini perjumpaan terakhir. Kami hanya tersesat. Hanya butuh waktu jalan pulang. Ada saatnya kami merindui kembali. Di bawah senja dan berpayung kanopi langit, aku menelan ludah sekerat mungkin. Kutatap punggung lelaki yang kian berjarak di titik alas dudukku. Sebelum selamanya pergi, ia memandangi wajahku lekat-lekat.
“Jangan jual tubuhmu. Kelak hubungi aku, bila kau butuh uang.”





0 komentar:

Posting Komentar

temukan peluang emas