Rabu, 24 Agustus 2011

Hanya Ada Aku


Rayden membanting pintu dengan kuat setelah mendapat hardikkan dari ibunya. Ia bergegas mencari kertas, lantas menorehkan tinta ke dalamnya, seorang wanita bertubuh buncit dengan perutnya tanpa busana, ia tancapkan sebilah pisau tepat di tengah perutnya, ususnya burai lengkap dengan gambaran tetesan darah yang jatuh ke lantai. Lalu ia rusak perut itu dengan arah tinta yang berputar semakin hitam. Hingga tampak seorang wanita yang memiliki perut berlubang. Ia torehkan kata-kata besar, “Hanya ada aku dan ibu. Lalu kau MATI!”
Sejak kehadiran benih di dalam perut ibunya. Rayden telah lama berhalusinasi;  tentang pikiran-pikiran menakutkan, tentang kasih sayang terbagi-bagi. Ia tahu, akan ada sejumlah kata-kata kasar yang meluncur pada mulut ibunya. Ia percaya, benih itu akan menjadi prioritas utama dan ia akan terabaikan. “Rayden kau akan memiliki adik baru”, ujar ibunya saat pertama mengetahui janin dalam perutnya. Dan baru kali pertama Rayden meninggalkan ruang televisi dengan wajah tampak menyeramkan.
Dan ia makin percaya doktrin pikirannya, ketika ibunya membentaknya yang tak becus meletakkan segelas susu di atas meja, tumpah ruah hingga merembes ke kulit perut ibunya. Atau saat ibunya berteriak-teriak menyuruhnya segera masuk ke kamar dan melupakan tayangan televisi tentang pembunuhan massal yang terkubur satu lubang.
Bahkan nyaris tak terhitung beberapa kali ibunya meluncurkan ludah ke arah wajah Rayden. Lalu memaki-maki Rayden di bar kecil dekat dapur sembari terus menegak alkohol. Dan langkah kaki mungil Rayden terhenti ketika mata ibunya menusuk tajam tepat di kedua bola mata Rayden. “Kau tahu Rayden. Melihatmu seperti aku bertelanjang. Menelanjangi diriku di depan suamiku. Seharusnya kau tak pernah ada di dunia ini.” Ia tak peduli sedikitpun ketika Rayden menghambur ke luar dengan mata berkabut. Sesenggukan. Bahkan semalaman Rayden tidur di halamam luar.
Secara gamblang , itu sejak perut ibunya membuncit, lalu ayahnya menemui lelaki bertopi di ujung gang, tanpa tahu apa-apa, Rayden hanya melihat pertengkaran besar ibu dan ayahnya dari ujung koridor yang menghubungkan kamarnya, beberapa kali telapak tangan ayahnya menyentuh pipi ibunya hingga berdarah, ayahnya pergi meninggalkan Rayden dan perut buncit ibunya yang semakin membesar. Rayden menarik lengan ayahnya dari arah berlawanan, memintanya untuk tetap tinggal. Dari lengan panjang yang menyembulkan telapak tangan besar mendorong bahu Rayden hingga tersungkur ke bawah lantai. Tak ada semburat kasih. Ludahan pertama menempel tepat di muka Rayden. Lalu menoleh ke belakang, “Hiduplah bersama lelaki itu. Kau tak sama denganku.”
Nyaris ucapan yang sama dengan orang-orang yang melihat wajahnya pertama kali. Setiap sekawanan ibu atau ayahnya selalu menyebut-nyebut, ia tak serupa dengan wajah ayahnya. Di suatu senja sore, barulah ia bertemu lelaki yang ditemui ayahnya waktu itu, di taman yang tak jauh dari rumahnya. Dan ia pikir, wajah itu lebih mirip dirinya ketimbang ayahnya.
“Kau tahu Rayden, seharusnya aku menghancurkanmu ketika masih di dalam perutku. Mungkin aku bisa hidup bersama suamiku dan anak dalam perutku ini. Kau seharusnya tak bergantung padaku.”
Kata-kata itu selalu terngiang di dalam telinga Rayden. Entah, ketika hendak memejamkan mata, atau saat membuka kelopak mata yang terlelap. Ia menggeram. Mencabik-cabik dinding porselen hingga membekas di sisian tangannya.
Pagi-pagi sekali, dengan langkah setengah berlari, ibunya  menghampiri Rayden yang tengah menghabiskan dua porsi hotdog. Ia menyodorkan secarik kertas buram, terlihat rembesan merah pekat dari lipatan kertas.
“Kau menulisnya Rayden?”
“Apa maksud ibu.”
“Kau juga yang memburaikan minyak di depan kamar ibu, bukan?”
 Mata Rayden menyorot telapak tangan ibunya yang berlumur darah, di sisi kiri helai per helai rambut ibunya merembes basah dan berbau anyir.
“Tidak. Aku tak mengerti apa maksud ibu.”
“Kalau saja kutahu itu kau. Akan kubuang kau dari sini.”
Rumah besar ini semakin menakutkan. Tak banyak mata di setiap sudut. Terlihat lenggang. Rayden berlari kencang menyusuri setiap sudut ruang. Separuh berteriak, “Ibu…Ibu…” Ia tak peduli vas bunga kesayangan ibunya terjatuh mengenai kakinya. Udara dingin dari jendela-jendela besar menyibak tirai, yang beberapa menghalau pandangan mata Rayden. Ia terus berteriak-teriak. Menuju dapur, lalu ke lantai atas hingga menubruk tubuh ibunya.
“Rayden apa yang kau lakukan?”
Rayden masih mengatur nafasnya. Terengah-engah. Nyaris, saat itu bengeknya kambuh.
“Kulihat di depan rumah tiga kucing telah mati dan nyaris terpenggal kepalanya. Di sampingnya kutemukan secarik kertas yang merembes merah pekat dari lipatannya. Tulisan itu sangat mengerikan Bu.”
Wanita itu tergugu. Matanya memerah sembari terus mengelus-ngelus perutnya. Meski Rayden terus menarik-narik lengan ibunya. Wanita itu tetap tak bersuara. Ia terdiam untuk beberapa saat.
“Bu ada apa ini. Apakah ada seseorang selain kita.”
“Aku tak tahu. Kita harus berjaga masing-masing.”
Wanita itu seperti tak ingin hidup setelah suaminya meninggalkan ia dengan perut buncitnya. Alkohol menjadi teman setiap larut malam. Dan Rayden tak pernah berani menunjukkan batang hidung selarut itu kepada ibunya. Sebut saja, merusak suasana. Akan ada sejumlah lontaran kata perih yang keluar dari mulut ibunya.
Ditambah terror-teror menakutkan menghantui wanita itu. Batapa terkejutnya ia, ketika lemari pakaiannya digantung sebuah bungkusan putih seraya kepala manusia yang berlumur merah pekat lengkap dengan kertas yang merembes dari lipatannya. Ia pula nyaris mati ketika tombak jatuh tepat di kedua bola matanya, kalau saja tumpukan buku-buku di atas lemari tak terjatuh. Hingga ketika terbangun pagi-pagi, ia tersadar dengan nyeri disekujur tubuhnya, sayatan-sayatan panjang melukai sepanjang tubuhnya. Satu goresan tepat berada di keningnya yang menonjol.
“Rayden. Aku akan menemuinya, kau mau ikut.”
Rayden tak berniat ke luar dari mobil setelah ibunya melarangnya. Di tengah hutan yang lebat, hanya remang-remang cahaya bulan yang menerobos masuk dari celah-celah dedauanan. Ia melihat ibunya bercakap dengan lelaki bertopi itu. Awal yang tenang, pertengahan menjurus pertengkaran, tak beberapa lama, wanita itu menusukkan sebilah pisau tepat di jantungnya. Ia telah menyiapkannya di belakang celana panjangnya.
Lelaki itu terkulai bersimbah darah. Rayden menuju ke luar dan menatap lelaki itu bergelinjang menahan perih. Cabikan itu menancap beberapa kali tepat di jantungnya. Dengan mata yang melotot dan lidah terjulur, nafasnya tak bersisa. Sementara ibunya tertawa puas dari atas tubuh lelaki bertopi.
Rayden mendekati ibunya.
“Rayden. Takkan ada lagi yang meneror kita.”
Rayden terus mendekati ibunya dengan tatapan yang aneh. Ia memanjangkan garis bibir, seolah-olah tersenyum simpul. Urat mata wanita itu nyaris putus, mengangkat tangannya berlumur darah, perut buncitnya bersimbah darah, tepat di atasnya tertancap sebilah pisau. Suaranya semakin pelan, “Rayden”. Keduanya terjatuh di lubang dalam yang dibuat ibunya sendiri. Di dalam sana, wanita dan lelaki pendosa itu membeku. Di sisi lain, seorang anak tertawa girang menjatuhkan sebilah pisau ke dalam lubang.
Di dalam rumah yang besar, di dalam kamar tanpa cahaya, di dalam lemari bocah berusia delapan tahun, berhambur tumpukan kertas-kertas gambar. Dan di sana, seorang wanita bertubuh buncit dengan perutnya tanpa busana, tertancapkan sebilah pisau tepat di tengah perutnya, ususnya burai lengkap dengan gambaran tetesan darah yang jatuh ke lantai. perutnya rusak dengan tinta yang berputar semakin hitam. Hingga tampak seorang wanita yang memiliki perut berlubang. tertoreh kata-kata besar, “Hanya ada aku. Ibu dan kau MATI!”





0 komentar:

Posting Komentar

temukan peluang emas