Roda empat mulai menyusuri tapakkan hitam . Sebuah perjalanan yang sudah dipersiapkan dari awal. Sebuah keluarga yang menyusuri jejalanan dengan jumlah yang sedikit berbeda. Dua anggota bertambah. Sebuah makna dari perjalanan. Sebut saja “penyadaran” . Karena hidup akan tumbuh dan berganti. Yah! awalnya kita semua terlahir seperti kertas putih. Hanya saja tinta perjalanan , melukiskan kisah hidup kita. Entah, akan tertoreh warna apa saja. Salah-salah warna hitam yang identik dengan kegelapan menjadi salah satu warna hidup kita. Awalnya kita tidak mengerti apa-apa. Bahkan meminta apapun kita harus menangis. Namun, tak ada satu pun tangis kita memberatkan. Kontras, saat kita telah dewasa. Katakan saja, “rengekan pecundang”. Tangisan yang menyakitkan bilik dan serambi jantung kita. Padahal ia detak hidup, denyar hidup. Pandangan yang kudapati, ketika tersadar kelahiran kemenakan pertamaku “Daffa”. Kuharap ia lebih baik daripada aku.
Sesampainya di sana, aroma panas menyelusup. Tak sabar melihat keadaannya. Roda berhenti memasuki pagar rumah yang agak lebih tinggi. Rumahnya sudah terlihat berbeda sejak peninggalan nenekku. Terlihat lebih rapi dan terawat. Sayangnya, ia hanya mencicipinya sebentar. Sang khalik telah memanggilnya duluan. Bukankah memang kita akan kembali ke tempat yang kekal itu juga. Hanya dinding tipis yang melapisi antara kematian dan kelahiran. Ada yang lahir, pasti akan ada yang tiada. Semuanya menyadarkanku. Begitu kumasuki tak kudapati lelaki tua yang kusebut kakek menyambut. Hanya ada cucu-cucunya yang masih tanggung dan adik ibuku. Keadaannya berbanding terbalik dengan ia yang sudah tak memiliki impian. Tak ada ceria atau bermain bersama cucunya. Ia enggan. Atau lebih tepatnya tak sanggup. Aku juga tak tahu mengapa kesehatannya semakin lama semakin memburuk.
Dan lagi-lagi aku kembali tersadar, bahwa hidup kita pun bukanlah milik kita. Kehidupan sementara. Hanya dinding tipis yang melapisi antara kematian dan kelahiran. Sebulan yang lalu, ia masih dapat berjalan tertatih dan duduk di keramaian celoteh cucunya. Kemungkinan, sejak sepeninggal nenekku, kesehatannya drastis menurun. Sebut saja “cinta sejati”. Ketika kehilangan pasangan, hidup kita bagai kehilangan separuh ruh kita. Tak ada semangat. Tak ada kehidupan. Terkenang yang membatin. Kurasa sejak saat itu, ia mengalami perubahan. Dan pastilah ia akan berteman lebih lama dengan tempat berbaringnya. Tanganya pun sulit menyentuh tanganku. Bergetar. Ah, aku tersadar. Entahlah, makin lama kehidupan semakin menyakitkan. Setelah semuanya selesai, acara “mengguncang gelas” keluarga itu bubar.
Roda empat menyusuri kembali jalanan aspal. Udara mendingin. Angin sepoi-sepoi. Sementara sang bayi yang tak mengerti apa-apa tetap tertidur lelap. Terlihat tak peduli. Atau tak mengerti. Panggung sandiwara belum di mulai. Kemudian berkelok ke gang kecil. Berapa kali belokan dilalui. Sedangkan si ayah menyendiri di rumah. Entah apa yang dilakukan. Tapi, kupikir ia tak akan berdiam diri, kutahu ia melakukan apapun demi membunuh waktu. Atau pekerjaan memang selalu menghampiri. Dan berkata, “super sibuk”.
Roda empat kembali terhenti. Di sini kulihat kembali kehidupan yang berbeda. Di atas plang itu tertulis, “Nur Aisyiah”. Entah, apakah mereka mendapatkan kehidupan layaknya sebuah keluarga. Entah, mereka terawat dengan baik. Entah, mereka memiliki kesempatan pendidikan yang sama. Namun, tak ada kegalauan di mata mereka. Tak ada yang menyebut, “di mana ibu atau di mana ayah mereka”. Tak ada. Mereka menyambut kami dengan hangat. Berkumpul saat memasuki ruangan. Setiap yang datang akan selalu mereka doakan. Untuk beberapa kali kami datang ke mari. Entah mendoakanku, keluarga, atau kakakku. Namun, kali ini kami datang untuk kelahiran Daffa. Namakan saja, syukuran kelahiran.
Apapula kehidupan mereka. Bagaimana mereka menjalaninya. Aku kembali tersadar. Kertas tak akan selamanya putih, akan ada banyak warna yang tertoreh. Kulihat pula seorang bayi yang nyaris serupa dengan Daffa sedang di gendong seorang wanita. Ah, ia tak pernah tahu, bahwa ia terlahir dalam rahim yang berbeda. Akhirnya, perjalanan hampir usai. Hujan rintik mengguyur persada. Sementara aku tetap bergeming, menunggu mereka dari balik kaca roda empat.
Yah! perjalanan hari ini mengisyaratkan pelajaran. Tentang hidupku, tentang semua. Ada kelahiran, kemudian menjadi tua, lalu mati. Dan di ujung sana ada orang yang terus melanjutkan hidup tanpa mengenal ayah atau ibu. Dan begitu pun aku, harus memahami semua rasa sakit yang mendera. Itulah kehidupan.
Tak ada pilihan. Kita harus maju. Berhenti atau mundur berarti hancur.
(5 juni 11’, memahami perjalanan roda empat)
0 komentar:
Posting Komentar