Mario tak tahu, bagaimana tidak untuk mengakhirinya. Ia pikir wanita itu benar-benar gila sampai ampas. Bak lintah menyesapi darahnya sampai ke ubun-ubun. Kalau salah-salah, Mario bisa mati dibuatnya.
Mario telah siap dengan setelan jas berwarna biru, diselipi dasi merah marun menjuntai. Ia melangkah bersama bocah-bocah penunjuk jalan bermata duitan. Entah, kenapa ia selalu berpindah-pindah apartemen. Ia rasa, wanita itu tak sabar menunggu, sembari melangkah, ponselnya berdering tiada henti.
Tanpa toleh kiri-kanan. Ia buka pintu berlapis lurik itu. Tepatnya di lantai 7.
“Hai! Mario kurasa aku tak sabar menunggumu.”
“Bukankah kita memiliki kesibukkan masing-masing.”
“Ya. Kurasa tak ada yang menyenangkan, selain menantimu.”
“Ha…ha…ha…Kau selalu membuatku tertawa Janet.”
“Seberapa besar tawamu, dibanding tawa kehidupanmu.”
“Sudah Janet. Sampah murahan.”
“Kurasa sampah bisa diolah menjadi lebih baik daripada kehidupan kita.”
“Kau meledek?”
“Ha..ha..ha…Kau terlihat pucat Mario.”
“Ya. Kau selalu suka bermain dikobaran api.”
“Ya. Kurasa itu pilihan kita.”
Janet yang tengah di dapur telah siap dengan dua gelas kopi hangat menuju ruang tamu. Tampak Mario sedang berleha di atas sofa.
“Kau lelah Mario,” ujar Janet menyodorkan segelas kopi hangat.
“Kurasa telah buyar setelah sampai di sini.”
“Ya. Kutahu kau pandai merayu.”
“Begitukah menurutmu?”
“Kau tahu suamiku. Tidak. Mantan suamiku. Bukan. Maksudku, sebentar lagi mantan suamiku. Ia tak cukup pandai merayu.”
“Owh…”
“Ya. Ia lebih suka berbicara secara jantan tanpa ba-bi-bu. Tanpa embel-embel.”
“Bagus.”
“Tidak. Membosankan.”
“Seperti kopi.”
“Berbeda.”
Janet menegak kopi di dalam gelas, beberapa kali. Lalu menuangkan sedikit kopi ke dinding gelas Mario yang telah kosong separuh. Mata Janet tak lepas menatap gerik Mario.
“Kita penyuka kegelapan. Banyak hal kita sama.”
“Pekat. Pahit. Dan sedikit manis. Sensasi luar biasa.”
“Bukankah kita memiliki kesamaan dengan kopi?”
“Maksudmu sejenis opium?”
“Kurasa kau tahu itu.”
Terdiam sejenak. Lalu Janet mengangkat kakinya ke atas sofa. Dan keadaannya sama persis seperti Mario─berleha di atas sofa. Kemudian Janet mengambil gelas di atas meja, diletakannya ke dadanya, lalu diputar-putar dengan ujung jari mengelilingi pinggiran gelas.
“Kau tahu aku tak pernah berubah terhadap kopi.”
“Benarkah? Ha…ha..ha.”
“Sebelum aku menemukan opium.:”
“Kau samakan aku dengan kopi.”
“Cukup dibilang begitu.”
“Bangsat.”
Tiba-tiba Mario beranjak dari alas duduknya. Berdiri dan memandangi segala isi ruangan. Cukup nyaman. Menilik satu persatu : sebuah televisi dengan layar datar lengkap dengan DVD dan kumpulan koleksi film-film, di ujung terlihat dapur kecil yang sangat menawan berwarna mencolok, dilengkapi pula dengan bar kecil dan dua buah bangku yang berbentuk seraut batang pohon. Di sebelahnya terlihat pintu kecil dengan knop berputar─dirasa pintu itu menuju kamar mandi. Kemudian, Mario melangkah menuju ruangan bebas─sebuah balkon di samping ruang tamu.
Udara dingin menyibak rambutnya yang sedikit gondrong. Dan mengedar pandangan turun ke bawah.
“Janet. Mengapa kau suka kopi?”
“Apakah opium sudah tak cukup.”
“Kurasa ada pemikiran yang lain.”
“Aku paling suka frappucino. Gabungan dari frappe dan cappuccino. Kopi dingin favoritku. Campuran milk shake dan tiga lapis urutan cappuccino. Menurutmu?”
“Ya. Seleramu cukup tinggi.”
“Kau?”
“Macchiato. Dengan espresso ditambah sedikit susu.”
“Bagaimana dengan Yatno?”
“Ia tidak memiliki selera yang cukup bagus. Apapun hidangannya, ia akan selalu menegaknya tak bersisa.”
“Kau rindu?”
“Tidak.”
“Sama sekali.”
“Apa salahnya.”
“Tak apa.”
Kemudian Janet berdiri. Menatap Mario dari jauh. Perlahan kakinya melangkah menuju balkon─tempat Mario sedari tadi berdiri. Ia memandang lekat-lekat wajah itu.
“Mario, sayang.”
“Ya.”
“Kurasa café yang berhadapan dengan apartemenku memiliki cukup selera tinggi.” Ujar Janet sembari menunjukkan café dengan ujung jarinya. Di plang yang sangat besar bertuliskan, “Café Fortine”.
“Kurasa kita perlu mencobanya.”
“Ya.”
“Kita harus mencicipi lebih banyak lagi. Seperti luwak, long black, atau caffe latte.”
“Tentu.”
Janet dan Mario saling bersitatap. Janet tersenyum dan seketika ia menyambar tangan Mario. Ia memegangnya dengan erat dan sesekali meremasnya.
“Mario”
“Apa?”
“Besok persidanganku.”
“Kau yakin.”
“Kita terlalu jauh Mario.”
“Perlukah ini semua.”
“Ya.”
“Bukankah kau bilang kau tak nyaman dengan istrimu.”
“Maksudku?”
“Stooooop.”
“Aku tak ingin mendengar apapun. Bangsat…”
Janet melepaskan genggaman tangannya. Matanya nyalang bak medusa yang bersiap mematuk dengan ular-ular rambutnya. Ia melangkah mundur dan masuk ke dalam ruangan. Desir angin mengikuti liuk tubuhnya yang segera masuk.
“Janet.”
“Ya.”
“Kuharap kita menemukan hubungan yang lebik baik.”
“Kenapa sekarang.”
“Bukankah tak ada kata terlambat.”
“Maksudmu?”
“Ya. Kita memiliki kehidupan berbeda.”
“Kau gila.”
“Tidak.”
“Kurasa kau gila.”
“Tidak.”
“Apa perlu kubawa kau ke sana.”
“Janet..”
“Ya. Tak semudah yang kau ucapkan.”
“Pikirkan. Kau akan menyesal.”
“Mario.”
“Ya.”
“Kau goyah.”
“Lebih baik goyah daripada berakhir segalanya.”
Luapan emosi semakin gemunung. “Praaak”, sebuah tamparan melayang menyabik wajah Mario. Janet mendelik kepada Mario. Ia pedas.
“Mario, sayang. Berpikirlah.”
“Aku tak perlu berpikir dengan sikapmu seperti ini.”
“Mario.”
“Ya.”
“Kau datang ke mari hanya untuk mengakhiri semuanya.”
“Janet. Ini jalan terbaik.”
“Tidak. Egois.”
“Apa.”
“Ya. Egois.”
Mereka terguggu. Bergeming. Namun, bersitatap dengan nyalang. Nanar. Mario melangkah, merapat dengan bahu yang saling bergesek. Bedebam.
“Tunggu Mario, sayang.”
“Apa?”
“Kurasa kau tak ingin semua tahu. Yah sebut saja, skandal. Menguak di layar berwarna itu.”
Mario diam. Mulutnya terjahit, sebuah sulaman memenuhi motif bibirnya. Rapat.
“Mario. Besok kutunggu kau datang kembali.”
Ini ucapan terakhir Janet, sebelum Mario melangkah dan membanting kuat pintu berlurik itu. “Gedobraak”. Brengsek. Lagi-lagi Mario tak bisa mengakhirinya. Ia benar-benar perempuan berambut ular─medusa─lengkap dengan bisa-bisanya. Ia terjebak.
Dan esok harus kembali─memuaskan keinginan wanita itu.
0 komentar:
Posting Komentar