Setelah solat maghrib, sekonyong-konyong pintu samping menyeruak diiringi mata yang berkilat-kilat. Yah! aku mafhum padanya ketika ia baru mencicipi dirinya sebagai wanita seutuhnya. Matanya mendelik ke arah sosok wanita tertua di rumahku. Kusebut sebagai kakak perempuan keduaku sedang dirundung gemuruh, kulihat matanya terus bergelincatan membara−yang menjadi alasan peristiwa sebelumnya. Ia menuding kesalahan itu bersumber dari wanita tua yang kusebut ibuku itu.
Kumulai saja awal kisahnya itu, kemarin tukang urut langganan keluargaku datang ke rumah−pada tujuan awal hanya memijat bagian kelingking kaki yang terkilir ̶ akibat pagi-pagi itu terhimpit palang pintu. Dan simak baik-baik kesalahannya, wanita yang bergurat seribu itu mulai menawarkan sesuatu dan bertanya-tanya masalah perut buncit kakakku itu. Ibuku percaya pada jemari-jemari ajaib Almarhum bapaknya tukang urut−dulu bapaknya sangat terkenal di dusun disebut perpanjangan tangan Tuhan ̶ bahwa tangannya itu dapat mempermudah proses kehidupan yang baru. Tapi sayang, kepandaian tangannya meluluskan kehidupan baru−tidak terturunkan kepada anaknya itu. Tidak tahu benar ̶ apa ia memang benar-benar handal.
Alhasil, aku juga was-was, sedangkan ibuku merasa enteng saja. Serasa bibir ini terkunci, maka berlanjut saja pijatan itu dari kelingking kaki kanan kemudian maju ke atas menyentuh perut buncit kakakku itu. Aku juga tak tahu duduk permasalahannya yang mana. Kalaulah disebut kami semua orang awam. Itu benar adanya. Atau tukang urut itu menjadi prasangka yang tak akurasi. Menyalahkannya dalam permasalahan ini, ketika keesokannya, pemeriksaan itu berlangsung. Sontak saja kaget bukan kepalang, melihat posisi si kecil berubah kembali−kepalanya yang dulu berada pada posisi jarum jam 6 ( ke bawah) ̶ namun, kini kepalanya berbalik berada pada jarum jam 12 (ke atas). Owh, aku tahu sesuatu yang tak menyenangkan akan terjadi. Lantas, ibuku disalahkan pada masalah itu.
Ah, kakakku tak pandai menyimpan gemuruh di hatinya saja. Ia dengan cepat meluapkannya tepat di depan pintu yang terbuka. Tentu saja kalian tahu, bagaimana kekacauan di rumahku itu. Yang kutahu, mulut keluargaku itu lebih lebar dari yang kau lihat ̶ kami pandai membuka mulut dengan berbagai bentuk. Kisruh. Dan saling lempar kesalahan pun dimulai. Entahlah, kurasa akan cukup panjang perdebatan pada malam itu. Dan memang benar adanya. Cukup membuang waktu sia-sia seperti yang terjadi pada hari-hari terdahulu.
Ah, tak usah pikirkan. Karena masalah yang besar sedang tertanggung. Toh, ini bukan kehendak siapa-siapa dan kurasa tukang urut pun juga tak mau ini terjadi. Dengan sigap, keputusan terakhir−mau tak mau juga harus ditelusuri−apalagi ia terlalu nyaman di sana. Kira-kira, ia sudah hampir sembilan bulan lebih berada di dalam tempat yang hangat itu. Baiklah, terpaksa kami membangunkan tidurnya yang lelap.
Malam itu juga, persiapan menuju ruang operasi dilaksanakan. Dengan rujukan pada rumah sakit Bhayangkara. Entahlah, apa yang terjadi di dalamnya ̶ ketika kakakku didorong dengan ranjangnya menuju ruang besar itu. Pasti terjadi banyak resepsi. Eh, ini bukan untukku, tetapi kalian. Jangan ditanya ruang besar itu−meski aku tak menyaksikannya ̶ aku tetap saja tahu. Kau paham maksudku, kawan. Hahaha. Ya−iyalah aku sudah langganan berkali-kali ke ruang besar itu sebelum kakakku memasukinya. Bagiku, “hal biasa” yang tlah kujalani.
Mataku masih lincah menyeringai di malam-malam larut itu. Sebelum terdengar dering ponselku−pantang bagiku untuk terlelap. Akhirnya jam 00.20 malam itu−kehidupan baru telah dimulai diiringi suara di balik ponsel berdering. “Lahir dengan selamat”. Oh, kau tahu kawan ̶ bagaimana perasaanku saat itu−sebut saja “membuncah”. Ehm, meski aku tak berada pada ruang yang sama, aku tahu yang terjadi, seperti pada layar-layar berwarna itu : Suara erangan mungilnya menggema di ruangan, meluncur dengan badan yang berlumur merah pekat, segera saja pasukan seragam putih membersihkan badannya yang kotor, telinga kecilnya yang pertama−mendengarkan ayat-ayat Allah yang menciptakan-Nya, dan terakhir ia telah nyaman tidur di ranjang kecilnya yang empuk.
Ah, betul-betul lega rasanya. Bagaimana tidak, perdebatan yang panjang−kini berakhir dengan “perasaan membuncah”, bayi laki-laki itu telah hadir di tengah keluargaku−sebagai bocah pendamai jiwa. Kau tahu banyak harapan kelak yang membumbung tinggi. Kuharap, ia menjadi penghibur bagi hati kami yang semakin lama semakin lelah. Tak terpungkiri, ia akan berada di panggung penuh sandiwara, yang sesekali−ia bisa terjerumus pada lembah, jika ia tak cukup kuat pada imannya. Dan kebenarannya−kami akan menjadi pendidik, pengajar, serta membawanya pada kelurusan ̶ tepatnya, sebagai hal kewajiban kami.
Padamu dengan mulut bak gincu marun,
Padamu dengan mata bak buah abrikos,
Padamu dengan wajah bak bulan penuh,
Maka, kuucapkan kepadamu, “Selamat datang pada kehidupanmu yang baru”.
Denyar catatan :
1. Selamat yah kak, sekarang dah jadi “bapak” seutuhnya.
2. Ayukku, moga cepat sehat yah−setelah pasca operasi.
3. Wah, aku dah jadi tante nih. Tapi gak bisa bantuin apa-apa L .
4. Untuk bilik dan serambi jantungku (orang tuaku), “semoga di hari tuamu ini ̶ semburat bahagia terpatri dengan kelahiran cucu pertamamu”.
5. Ayukku yang lain, kapan nyusulnya? Semua berharap cepat mendapat pendamping yang sejalan.
6. Yang terakhir ini untuk “little angel”. “Walau gak bisa jadi tante yang ngurusin kamu untuk sekarang ini. Tapi yang pasti, tante bisa ngedongengin kamu di tiap malam-malammu”.
Riwayat “April’s Baby” :
Dengan pertimbangan yang sangat panjang, memakan waktu yang cukup lama, perdebatan sana-sini, dan nyaris tanpa nama, akhirnya diputuskan :
Nama : Daffa Zahwansyah
Arti : Pertahanan, kuat dan cerdas
Jenis kelamin : Laki-laki
Tgl Lahir : 9 April 2011
Berat : 3,4 kg
Meluncur pada waktu : 00.20 malam−dengan diiringi tempias suara rintik pada atap.
WELCOME TO THE JUNGLE
TOK....TOK...TOK..... (ditandai : suara palu bertalu-talu)
0 komentar:
Posting Komentar