Minggu, 16 Januari 2011

lamunanku


Malam ini akan terasa lama berbeda dengan biasanya. Menghabiskan waktu disepanjang lentera malam dengan lamunan dan impian yang panjang. Mendesah sesekali dan menelan bulat-bulat air ludah yang berada diujung tepian lidah.  Menghabiskan secangkir kopi yang menjadi cicipan pertama bagiku, pekat lekat dan sedikit manis yang kurasakan, sensasi berbeda pada goyangan lidahku. Langit tampak gelap malam itu, hanya separuh raga bulan yang mengintip dibalik awan dan bintang tak tampak sama sekali berpendar-pendar. Keadaan itu akan dimanfaatkan Sang kucing  yang tersenyum sumringah ketika endusan hidungnya pada tong sampah tak akan diketahui pemilik rumah dengan begitu lahapnya makanan sisa habis tak bersisa. 


Aku kembali menelan ludah bulat-bulat dan sesekali menatap bulan yang enggan menyapa, mengingatkan ku kembali pada memori masa lalu. Tahun itu aku menghabiskan bersama dengan sekelompok teman dengan malam-malam yang akan sama diatas pembaringan. Serasa dejavu bagiku, namun gelak tawa itu tak kudapatkan selama disini seperti yang kurasakan ditahun silam. Aku dan teman- teman menghabiskan akhir tahun dengan sangat sederhana tetapi bagiku aku sangat terhibur dengan kebersamaan yang menyatukan kami dalam waktu singkat ketika tepat jam 12 malam itu suara kembang api mengembul diudara, kami bersiap-siap membuka tirai pembatas dan memandangnya lekat-lekat. Tak ada camilan yang meruah atau percon yang kami mainkan hanya memandang percikan api berwarna dari balik kaca lantai empat, tak ada istimewa. 

Namun, sebuah kenangan membekas bagiku walaupun hal itu biasa-biasa saja. Sayang, satu temanku tak menghabiskan malam itu ketika pagi itu dia harus menjalani serangkaian bedah sehingga malamnya dia terlelap lelah. Banyak hal yang kusimpan pada memoriku pada tahun itu dan masih sangat kental dalam ingatanku semua selaksa peristiwa di kota metropolitan itu. Seorang anak kampung yang menjelajah kota besar tapi bukan untuk mencari pekerjaan atau hiburan namun keterpaksaan yang harus dilalui ketika laki-laki yang identik dengan seragam putih itu melemparkanku di kota ini. “HuuuH” desahan yang lebih kencang sebelumnya mendengar keputusan laki-laki berseragam putih, namun tak pula menyurutkan semangatku yang membara. “Aku tetap berjuang dan aku harus bisa kembali seperti dulu”, batinku bergumam, Ditandai dengan perkenalan awalku pada pemilik kosan yang tak terlalu besar ataupun kecil, cukup sederhana berukuran  6x5 m. Wajahku tersenyum menyapa awalku berkenalan dengan anak pemilik rumah yang  kuanggap sebagai kakak bagiku. 

Namun, sekarang aku sangat jarang bahkan tak parnah sama sekali berkirim kabar, hanya melalui salah satu situs jejaring sosial sajalah aku mengetahui bagaimana keadaannya. Bagaimanapun juga aku sangat berterima kasih padanya yang begitu baik dan banyak membantu  ketika aku berada disana. Masih ingat laju mobil menuju bandara soekarno-hatta dan dialah yang mengantarkan kepergianku untuk kembali ke kota kelahiranku. Mataku tampak berkaca-kaca, entah air mata bahagia atau sedih, aku menatap lekat-lekat wajah itu. Banyak hal yang aku lakukan bersamanya, gelakku mulai berdendang ketika ayahku harus kalah telak dari kakak bermain catur untuk berkali-kalinya. Kadang disore hari aku menghabiskan waktu diberanda rumah itu, hanya sebuah pohon yang menemani namun cukup memberikan udara segar bagi nafasku.

 Akupun tak lupa ketika kami berguyon disandaran besi-besi ketika merekam video klip temanku menjadi suster ngesot dan sebuah angan dan impian yang kami lambungkan diberanda diantara ruang 404 dan 405. Dengan kejahilan kamipun sebagai gadis-gadis centil menggoda salah satu CS   hingga wajahnya selalu memerah semu ketika kami mengeluh-eluhkan namanya. Begitu sangat mengganggu pekerjaannya yang kulihat dari keisengan kami. Tapi tetap saja kami terus menggoda dan tertawa geli melihat salah tingkahnya. “betapa mengasyikkan” , batin kami bersama bergumam. Aku masih menyimpan suara rekaman itu di ponselku. Sesekali ku dendangkan rekaman itu dan tawa kecil meringis yang kurasakan ketika panggilan “ mang ucuuup” bergema diruangan kamarku. Tak ada  panggilan yang berciri khas seperti temanku memanggil, hanya dia yang mampu memanggil dengan suara unik seperti itu. 

Aku juga berjumpa dengan pasangan yang masih dibilang “pacaran”, yang akhirnya karena peristiwa pelemparan dirinya bermeter-meter dijalan akibat bus kota dan berakhir dengan “happy Ending” sebuah ijab kabul terlontar beberapa bulan setelah pemulihan kondisinya. “selamat yah”, kukirim pesan melalui ponsel berderingku untuk temanku itu. Namun, akhir bahagia tidak selalu kutemui dikedua bola mataku. Dia masih berusia tiga belas tahun ketika penyakit itu mulai menggrogoti tubuhnya. Gadis yang ceria, selalu tersenyum meski rambut yang tergerai panjang itu harus rontok dan menggundulkan mahkota kepalanya. Aku dengar sayup-sayup ketika larut malam tiba dia meringis kesakitan dan menangis dengan tanpa gerak apapun dari kakinya dan tanpa disadari penyakit itu menyerang paru-parunya, aku sembilu teriris. Akhirnya, ketika semua merayakan kebahagiaan dihari raya idul fitri, tanda berkabung gerimis menghujani akhir nafas “syifa” untuk terakhir kali menatap dunia. Begitupun juga wanita 23 tahun yang baru satu tahun menikah harus memutuskan kontrak hidupnya didunia ketika “osteosarcoma” harus menyerang antibodinya. Tak ada lagi kecerian seperti awal kami bertemu, tak ada lagi senyum yang mengembang ketika menatapku. Dia lunglai tak berdaya diruang “404” ketika aku memanggil namanya, namun hanya tatapan kosong dari retina matanya. Dan dia kembali menghadapNya. Kutemui juga seorang laki-laki yang berada disamping pintu baja. Pertemuan hanya sebulan sekali atau bahkan berbula-bulan baru kulihat dia disamping pintu baja itu kembali. Keadaanya sama sepertiku, desisku. Dia berjuang pula sama seperti semua yang berjuang demi hidupnya. 

Ku ingat semua memori itu dari suka dan duka yang dirasakan, dari tawa dan gelak yang kita mainkan. “404” sejarah hidupku yang takkan pernah kulupa. “Niaaaaa ayo tidur”, suara ibu membuyarkan lamunanku. Udara malam itu semakin mendingin diiringi air hujan yang jatuh ke kota pempek, akupun mengakhiri tatapan memandang bulan ketika ibu mulai menutup jendela ruang itu. Tak ada gelak ketika jam menunjuk pukul 9 malam seperti tahun itu. Tirai pembatas telah tertutup dari terik mentari menegak sampai malam ini. Semua telah terlelap begitu dini. Hening. Sunyi. Sepi. Sedangkan mataku terus lincah menyeringai dimalam kelam ini. Aku masih dipembaring dalam keadaan yang sama. Kutatap selang yang mengaliri darah didalam tubuhku, “tranfusi darah” 3 kantong telah dijalani.  “huuuh” aku menghela nafas panjang.  Malam ini akan terasa lama berbeda dengan biasanya......



0 komentar:

Posting Komentar

temukan peluang emas