Minggu, 14 November 2010

Sang inspirator dan motivator


Jum’at malam 12 nopember, saya menonton salah satu acara favorit saya “kick andy”. Tayangan episode kick andy kali ini bertema tentang “tak ada yang tak bisa” yang menampilkan tokoh-tokoh luar biasa dari segala kekurangan mereka tapi mampu mendobrak keterbatasan untuk mencapai kesuksesan. Saya tertarik dengan salah satu tokoh luar biasa yang hadir diacara kickandy yaitu seorang wanita bernama “Dian Wahdini Syarief” yang berusia 45 tahun. Wanita yang tetap tersenyum ditengah perjuangan melawan penyakit.



 Seorang laki-laki sebagai suaminya memapah penuh cinta ibu Dian untuk membantunya duduk di stage karena hampir 95% ibu Dian kehilangan penglihatannya akibat penyakit yang diderita. Namun, Saat berbicara dengan orang lain, sorot matanya tetap terarah kepada lawan bicaranya. Sama sekali tidak menunjukkan kalau penglihatannya terganggu. Saya kagum kepada suami ibu Dian yaitu bapak Eko Priyo Utomo yang begitu setia mendampingi isteri tercinta walaupun sebagian fisiknya sudah tak sempurna dan tak bisa melayani suaminya lagi seperti dahulu. Sebuah bentuk “cinta tulus” yang saya petik dari sebuah pelajaran hidup dari sepasang suami isteri ini. Ketertarikan saya pada sosok ibu Dian mengantarkan saya kepada sebuah artikel tentang kisah perjalaan hidupnya melawan penyakit lupus.

Dian Wahdini Syarief sosok wanita cantik diusia hampir separuh abad adalah mantan manajer Komunikasi Korporat Bank Bali divonis menderita penyakit lupus pada tahun 1999 diusia 34 tahun. Pada saat itu karirnya sedang menanjak pesat dan penyakit ini telah mengubah segala kehidupannya. Sosok wanita berjilbab murah senyum ini tak terlihat seperti seorang yang sedang merasakan sakit yang parah.

Ketegarannya melawan penyakit mengantarkan sosoknya sebagai seorang yang saya nilai inspirator terbesar khususnya bagi kehidupan saya. Lupus adalah salah satu penyakit yang luar biasa sakitnya. Menurut seorang teman yang mengidap penyakit ini, saat Lupus menyerang, selembar kain yang menempel di kulit pun menimbulkan rasa sakit yang mendalam, seperti pisau yang mengiris-iris kulit. Itu pun katanya adalah penyakit teringan dari Lupus. Tidak terbayangkan bagaimana rasanya seseorang yang mengalami Lupus akut seperti yang dialami ibu Dian Syarif yang pernah menjalani operasi hingga 20 kali karena penyakitnya ini. (mata saya mulai berkaca-kaca merasakan perjuangan sosok wanita gigih ini).

Selain masih berupaya melawan keganasan lupus yang sewaktu-waktu kambuh kapanpun, Kini ibu Dian mengelola yayasan yang didirikannya pada tahun 2004 untuk membantu sesama penderita lupus lainnya (odapus) yakni, Syamsi Dhuha Foundation. Dan atas derma waktunya untuk menolong orang lain yang menderita lupus lainnya, Ibu Dian dianugerahkan Lifetime Achievement Award dari kongres Lupus Internasional atas sumbangsinya tersebut. Subhanallah.

Penyakit ibu Dian yang dirasakan bermula pada bintik-binti merah diwajahnya dan wajanya terlihat pucat. Tak disangka hal ini mengantarkannya kepada penyakit mematikan yang belum ada obatnya ini. Pada tahun 1999, kondisi ibu Dian menurun drastis lantaran lupus menyerang otaknya, ibu Dian harus menjalani 6 kali bedah otak yang berisiko lumpuh dan kehilangan ingatan. Pada tahun itu juga, ibu Dian melakukan operasi pengangkatan empedu.

Lantaran tidak tahan dengan terapi hidrosteroid yang harus dijalaninya, ia pun kehilangan 95% penglihatannya. Inilah pukulan yang terberat yang dirasakan ibu Dian. Namun sebagai seorang profesional di bank, ibu Dian ingat dengan konsep positive thinking. Saat itu ia berusaha tetap berpikir positif meskipun merasa terpukul karena menjadi orang dengan low vision.

“Ketika saya tidak bisa melihat, saya positive thinking saja dan mengikuti pelatihan untuk dapat beraktivitas meskipun tidak lagi bisa melihat,” ujar wanita kelahiran Bandung, 21 Desember 1965, ini.

Ibu Dian pun belajar untuk hidup tanpa penglihatan. Ia belajar orientasi mobilitas dan huruf Braile seperti yang dipelajari orang buta pada umumnya. Namun, akhirnya ilmu membaca huruf Braile tersebut tidak ia gunakan.
“Braile lebih untuk melatih kepekaan. Ekspektasi saya sebagai orang yang pernah membaca normal adalah dapat membaca bacaan-bacaan yang sama dengan yang dibaca orang normal, misalnya Kompas. Jadi, saya lebih banyak minta dibacakan,” ujarnya.

Sebenarnya dua tahun setelah divonis menderita lupus, ibu Dian sempat ditawari kembali bekerja di Bank Bali. Pihak Bank Bali tidak mempermasalahkan kondisi fisik Dian. Mereka masih berharap Dian dapat menjadi salah satu anggota think tank Bank Bali.

Namun tawaran tersebut ditolaknya, karena Dian merasa hidup yang ia jalani setelah divonis menderita lupus adalah bonus dari Tuhan. Terlebih setelah ia mampu bertahan meskipun telah mengalami 6 kali bedah otak. Karena itu, ia merasa sayang jika dirinya hanya mengerjakan hal yang sudah pernah dikerjakannya sebelum sakit.

Menurut Dian, lima tahun pertama sakitnya lebih banyak ia gunakan untuk berjuang hidup. Saat itu ia banyak mengalami pendarahan dan peradangan. “Saya harus bolak-balik ke rumah sakit untuk operasi, terapi, konsultasi dan fisioterapi. Di tahun 1999 itu juga saya sempat tidak bisa jalan,” ujar wanita berjilbab ini.

Dalam perjuangannya menghadapi penyakit lupus, Dian mengaku mengalami dua kali depresi yang hebat, yaitu pada 2001 dan 2007. Tahun 2001, Dian merasa depresi karena merasa tidak kunjung sembuh dari penyakitnya.

“Sebenarnya saya semangat berobat dan terapi karena punya harapan ingin sembuh dan bisa melihat kembali. Tapi ketika hal itu tidak terjadi, saya pun menjadi down,” ujar wanita yang berobat hingga ke Mount Elizabeth Hospital di Singapura ini.

Pada 2007, kondisi kesehatan Dian kembali menurun drastis dan ia harus keluar-masuk rumah sakit, padahal sebelumnya kondisinya sudah stabil. Saat itu ia tidak siap menerima kondisi fisiknya yang tiba-tiba menurun lagi.

Pada tahun itu Dian melakukan operasi radang rongga hidung, karena ia tidak dapat bernapas dengan baik hingga berbulan-bulan. “Tahun itu saya bernapas lewat mulut. Padahal kalau bernapas lewat mulut, saya batuk. Jadi saya tidak bisa tidur dan berat badan turun hingga 8 kg,” katanya menggambarkan penderitaannya.

Saat itu ia merasa agak trauma dengan pemeriksaan-pemeriksaan di rumah sakit. “Tahun itu sebenarnya kondisi fisik saya masih lebih baik dibandingkan tahun 1999. Namun, kondisi mental saya justru lebih buruk. Sebab, di tahun 1999 semangat saya untuk sehat kembali justru lebih besar,” ujarnya.
Sekedar informasi kecil, apa itu penyakit lupus? Yaitu penyakit karena kelebihan sistem imun yang malah menyebabkan  menyerang tubuh sendiri.

Menurut ibu Dian, orang yang paling memberikan inspirasi baginya dalam menghadapi apa yang ia alami adalah ibunya sendiri tentang perjuangan melawan kanker payudara dan alhasil ibunya sembuh dari penyakit mematikan itu.

Dan tak pula ketinggalan sosok laki-laki yang hebat sebagai penguat, selalu menemani dan mendukung istri tercinta ibu Dian yaitu sang suami pak Eko juga berpengaruh besar atas kegigihan ibu Dian melawan penyakitnya (Saya mengancungkan 100 jempol buat paka Eko). Atas kecintaanya terhadap ibu Dian, pak Eko mempersembahkan sebuah buku yangberjudul “the miracle of love: dengan lupus menuju Tuhan”.
 
Berikut ini sebagian wawancara ibu Dian Syarif ditabloid MQ sekitar tahun 2006 lalu. Yang menggambarkan “sebuah cinta murni” dari pasangan terbaik menurut saya.

Mas Eko sangat berperan besar dalam menyemangati Dian saat menghadapi masa-masa kritisnya. “Sakitmu ini adalah penggugur dosa-dosamu,” hibur Mas Eko. Begitupun saat Dian selesai operasi pengangkatan rahim. Satu kehilangan yang sangat berat bagi wanita. Mas Eko malah bercanda, “Selamat ya, hari ini kamu telah melahirkan si uterina (rahim, red).” Ungkapan-ungkapan seperti ini cukup membuat hati Dian terhibur. “Kalau saja tujuan utama kami menikah hanya untuk mendapatkan keturunan, mungkin sekarang kami sudah bubar,” tegas Dian.

Lalu, apa arti pernikahan bagi mereka? “Dalam pernikahan, hal yang penting adalah toleransi, keterbukaan, komunikasi, dan tentu saja cinta. Menurut saya, kekuatan cinta dapat menimbulkan keajaiban, mengubah yang tidak mungkin menjadi mungkin, bisa menjadi sumber energi, menimbulkan semangat serta gairah hidup,” ungkap Dian dengan hati berbunga.

Dian memang boleh berbangga dan berbahagia memiliki suami yang setia seperti Mas Eko. Setia, bukan hanya pada saat senang, tapi juga saat Dian sedang terpuruk dalam hidup. Presiden Direktur PT. Fortis Investment ini pun merasa bersyukur dititipi Dian sebagai istrinya, karena melalui Dian, tujuan hidupnya pun semakin terarah.

Mas Eko, yang menurut Dian agak introvert dan kurang romantis, ternyata pria yang sabar dan penuh pengertian. “Saya mulai memahami, bahwa sebenarnya keikhlasan Mas Eko merawatku adalah untuk kebaikannya juga. Saya bahagia menjadi ladang amal baginya”, ucap Sarjana Farmasi ini bahagia. Hal yang paling membahagiakan bagi Dian adalah ketika suaminya menghadiahi buku berjudul 15 tahun Perjalanan Cinta yang ditulis Mas Eko khusus untuk Dian di ultah perkawinan mereka yang ke-15. Mungkin inilah sisi romantis Mas Eko. Hal ini pula yang membuat Dian menganggap Mas Eko sebagai soulmate, belahan jiwanya yang sejati.


Subhanallah. Cinta yang luar biasa yang menjadikan pelajaran hidup bagi saya. “Mencintai seseorang karena Allah”, Hal fokus inilah yang saya lihat dari gambaran kisah cinta mereka berdua. Dan perjuangan ibu Dian melawan penyakit dan terus berkarya adalah cambuk bagi saya untuk tetap tegar berjuang melawan penyakit yang diderita saya juga.

Bagi orang-orang yang mendapat cobaan seperti dirinya, termasuk saya. ibu Dian berpesan, kita semua harus menyadari bahwa hidup adalah karunia. “Kita sebagai manusia harus memanfaatkan setiap detik kehidupan kita. Karena itu, kita harus punya bekal yang cukup. Tidak mungkin kita diam saja kalau kita menyadari bahwa setiap detak jantung dan helaan napas kita itu luar biasa berharganya,” ujarnya.

Pesan luar biasa dari inspirator hebat ibu Dian Wahdini Syarief. Akhir menulis artikel ini saya menitikkan air mata tapi bukan air mata kepedihan melainkan air mata rasa bersyukur. Pesanku untuk teman-teman yang sekarang berjuang melawan penyakit sama seperti saya, yaitu “ teruslah berjuang dan tetaplah berkarya selagi nafas kita masih diberikan sang Pencipta. Bagi saya tulisan adalah karya yang dapat saya buat agar bermanfaat bagi orang. Saya menorehkan jejak-jejak melalui tulisan agar saya dapat dikenang ketika suatu saat kita semua pasti kembali menghadapNya.


Sumber: SWAsembada, syamsidhuhafoundation.org, http://kadocintaindah.blogspot.com/2010/01/miracle-of-love-from-dian-syarif.html

0 komentar:

Posting Komentar

temukan peluang emas