Selasa, 19 Oktober 2010

semut-semut kecil



Begitu lelah ku kayuh melewati samudra dari tubuh ringkihku yang kecil  mencari pepohonan akasia. Hanya satu inginku, aku ingin kembali. Yah! Dimana kudapati kekumuhan namun terselip warna pelangi yang meneduhkanku. Sungguh, Ku rindu tempat itu. Ku dapati diriku terombang ambing di luasnya samudra, tersesat dipengasingan pulau berbentuk cincin. 

Air kecil memenuhi ditengah-tengah pulau nan indah ini. Pesonanya bagai taman firdaus yang menyesapi raga-raga yang haus kenikmatan. Begitupun juga tubuh ringkih kecilku ini membawaku pada kenikmatan itu. Mengingat langkah yang tak pernah surut menjejaki segala aral hanya untuk untuk mencicipi indahya pulau surgawi itu. Bisik-bisik mereka akan keindahannya membuat langkahku tak pernah surut. 

“Ikutlah dengan ku, Kita akan mereguk dahaganya bersama-sama. Sungguh ini semua tiada berarti bila menemukan pulau surgawi itu”. Dia hanya bergeming. Kecewa melandaku namun surut bagiku untuk mundur. Ku lalui pengembaraan itu seorang diri. “Ku takkan berbagi setelah kutemui pulau surgawi itu”, batin picikku bergumam. Demam pulau surgawi itu melanda gaung telingaku. Aku tersesat makin gelap dalam pengembaraanku. Sulit untuk kembali dan satu-satunya jalan hanya terus maju dengan sesapan rasa yang mulai kesepian. 

Kutemui indahnya pulau nan indah itu. Tubuhku yang kecil ringkih berhambur menatap kenikmatan mata yang luar biasa dari sang Khalik. Aku telah sampai pada mimpiku. Kusesapi nikmat secara detail dalam hidupku. Kunikmati indahnya tiada tara. Aku terbuai pada kenikmatannya. Air yang kurasakan bukanlah air tawar seperti dipepohonan akasia,cawan yang terisi adalah anggur kenikmatan yang memabukkan kehidupan. Terlupa pada akasia yang permai, wajah manisnya yang muncul diriaknya pesisir pantai dan jantungku yang selalu berucap pada petuah bijak. Aku telah lupa pada hal itu. Nikmatnya kacang lupa pada kulitnya. 

Namun, aku ingin kembali. Nikmatnya kini mulai kurasakan berbeda. Makin lama keanehan dari kenikmatan pulau ini kurasakan. Jiwa-jiwa haus kenikmatan mulai berseringai. Awal kedamaian mereka  hanya sebentar karena kenikmatan mulai menyelusup otak mereka. Relung jiwa-jiwa mereka berambisi menjadi pemilik tunggal kenikmatan surgawi ini . Setelah menyikut mereka mungkin barulah aku yang disingkirkan jiwa gelap itu. Jiwa-jiwa yang putih telah berubah menjadi jiwa kegelapan. Bahkan dukun-dukun hitam menjadi teman mereka untuk melancarkan misi mereka. Siapa yang bertahan, diala pemiliknya. 

Mungkin akulah orang terakhir yang akan didepotasi karena mereka anggap akulah musuh paling lemah . Dengan sekali sentilan, dengan mudah aku terlempar dari kenikmatan ini. Satu persatu kulihat mereka tergelapar di pulau indah ini. Pulau yang dipenuhi dengan warna kehijauan yang teduh sekarang dipenuhi dengan warna merah pekat. Taman hijau itu berwarna merah, pepohonan teduh terpancar sinar merah berkilau, dan air yang mengalir bukan jernih namun telah pekat dari warna merah asli dari jiwa-jiwa yang terjegal. 

Raga-raga tergelepar dengan mata yang terjelit seakan-akan tak ridho atas pemilik kenikmatan. Siapa yang kuat dialah yang jadi pemenangnya. Kulihat sosoknya yang gagah telah menjegal beberapa nyawa, menatapku dengan licik , “Tenang kau takkan tergelapar disini. Aku bukanlah tandinganmu. Kau kecil dan meringkih maka pergilah secara perlahan”. Jiwa gelap itu menyeringai dengan kilatan gigi tajamnya. Aku tak berkutik bahkan tak pernah beranjak dari tempat ini setelah dengan mata telanjang kulihat jiwa gelap itu secara membabi buta menjegal satu-pesatu jiwa-jiwa yang haus kenikmatan. 

Hanya satu inginku, aku ingin kembali. Bukanlah kenikmatan seperti ini yang kucari. Ini bukanlah surgawi tapi neraka bagiku.  Yah, aku rindu pada jiwa-jiwa damai itu dimana kumuh melanda tapi tak pernah membuat kami menjegal perkepala mereka. Hidup dalam cinta dan damai telebih aku merindukan pohon akasia itu. Pohon yang berumur ratusan tahu sebagai beranda rumah kami. Kami membangun rumah semut setinggi-tingginya di pedalaman hutan itu. Kami hidup saling berdampingan dengan manusia-manusia berhati lembut. 

Hanya satu inginku, aku ingin kembali. Pelukan mereka terasa hangat. Aku masih terombang ambing di lautan ini. Entah kemana arahku melangkah. Jalan buntu ku temui tanpa tahu jalan tuk kembali. Kulihat pulau kenikmatan itu dari atas daun jati sebagai perahuku. Kini, kutahu mengapa dia tak ingin ikut bersamaku. Perkataannya mulai terngiang kembali ditelingaku, “Tak perlu kenikmatan jika tak pernah kau temui kedamaian. Aku lebih memilih tetap disini, karena sesungguhnya inilah kenikmatan yang aku cari”. Dia tersenyum lekat dalam batinku. Dan Sungguh, aku ingin kembali.............................. .

0 komentar:

Posting Komentar

temukan peluang emas